BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Tujuan pendidikan di Indonesia telah
termaktub di dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat yang menyatakan bahwa
tujuan pendidikan tersebut ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai
tujuan tersebut pemerintah menetapkan tiga jenis pendidikan yaitu pendidikan
informal, formal dan non formal.[1]
Meski demikian pemerintah mengharapkan tidak hanya terbatas pada tiga jenis
pendidikan tersbut, melainkan pendidikan itu dilaksanakan sepanjang hayat.
Kenyataannya, penerapan pendidikan
di Indonesia hanya berfokus pada pendidikan formal. Padahal pendidikan formal
hanya mengembangkan sebagian dari potensi yang dimiliki oleh peserta didik.
Seharusnya, pendidikan formal juga didukung oleh pendidikan informal dan non
formal agar semua potensi yang dimiliki oleh peserta didik dapat berkembang
secara maksimal.
Hal ini lah yang belum disadari oleh
masyarakat Indonesia pada umumnya. Padahal sistem pendidikan pada zaman Bani
Umayyah telah melaksanakan tujuan pendidikan secara maksimal. Hal ini terbukti
dengan adanya halaqoh/kutab dalam proses pembelajaran pada zaman itu. Selain
itu, terbukti dengan berkembangnya ilmu pengetahuan pada zaman tersebut.
Hal ini lah yang menjadi alasan bagi
penulis untuk membuat makalah ini, dengan harapan penulis dan pembaca dapat
mengetahui konsep pendidikan pada zaman Bani Umayyah. Selain itu diharapkan
juga konsep pendidikan tersebut dapat di ambil nilai-nilai positifnya untuk
diterapkan dalam pendidikan di Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
problematika pendidikan di Indonesia?
2.
Bagaimana
pendidikan di zaman Bani Umayyah?
3.
Bagaiamana
rekonstruksi pendidikan pada zaman Bani Umayyah yang akan diterapkan di
Indonesia?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui bagaimana problematika pendidikan di Indonesia
2.
Untuk
mengetahui bagaimana pendidikan di zaman Bani Umayyah
3.
Untuk
mengetahui bagaiamana rekonstruksi pendidikan pada zaman Bani Umayyah yang akan
diterapkan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Problematika Pendidikan di Indonesia
Pendidikan sepanjang hayat (livelong education) adalah
bahwa pendidikan tidak berhenti hingga individu menjadi dewasa, tetapi tetap
berlanjut sepanjang hidupnya.[2]
Pendidikan sepanjang hayat menjadi semakin tinggi urgensinya pada saat ini
karena manusia terus menerus menyesuaikan diri supaya dapat tetap hidup secara wajar dalam lingkungan
masyarakat yang selalu berubah. Sisi lain pendidikan sepanjang hayat adalah
peluang yang luas bagi seseorang untuk terus belajar agar dapat meraih keadaan
kehidupan yang lebih baik.
Berdasarkan pengertian di atas
jelaslah bahwa pendidikan dilakukan sepanjang hayat. Hal ini berarti pendidikan
terus dilakukan secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Pada dasarnya
pendidikan memberikan pengetahuan dan keterampilan yang akan digunakan dalam
masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Pendidikan yang
dimaksud tersebut adalah pendidikan yang tidak hanya terbatas pada satu sistem
atau kebijakan pemerintah saja, melainkan pendidikan juga harus dilaksanakan di
luar sistem sebagai penunjang kebutuhan peserta didik kelaknya. Misalnya,
peserta didik diharapkan dapat mengembangkan potensi yang dimiliki di luar
pendidikan formal, karena pendidikan pada jenis ini hanya memiliki waktu belajar
yang sedikit serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi kebutuhan peserta
didik.
Tentu saja pengembangan potensi ini
menjadi kurang maksimal. Untuk itulah dibutuhkan kerjasama baik dari pendidikan
informal maupun pendidikan non formal. Pada dasarnya pendidikan non formal yang
ada pada masyarakat mampu mencukupi kebutuhan peserta didik, dengan cara adanya
keterkaitan anatara pendidikan formal dan pendidikan non formal.
Namun kenyataannya, masayarakat belum
menyadari peran tersebut sepenuhnya, sehingaa lembaga pendidikan non formal
dirasa masih belum memnuhi kebutuhan peserta didik. Apabila hal ini terus
berlanjut, maka bisa dikatakan belum adanya wahana penyaluran untuk
mengembangkan potensi peserta didik di luar pendidikan formal. Dari
permasalahan inilah penulis ingin memberikan solusi persfektif sejarah
pendidikan yang ada pada Bani Umayyah.
B.
Pendidikan
Islam pada masa Bani Umayyah
Secara
esensial, Pendidikan islam pada masa ini hampir sama dengan pendidikan pada
periode Khulafaur rasyidin. Namun pada masa bani umayyah ini pendidikan islam
lebih mengalami perkembangan yang cukup signifikan, diantaranya dapat di
uraikan pada pembahasan berikut:
1.
Kurikulum Pendidikan Islam pada masa Bani
Umayyah
Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan
bersifat desentralisasi. [3]Desentrasi
artinya pendidikan tidak hanya terpusat di ibu kota Negara saja tetapi sudah
dikembangkan secara otonom di daerah yang telah dikuasai seiring dengan
ekspansi teritorial. Pada masa bani Umayyah, pakar pendidikan Islam menggunakan
kata Al-Maddah untuk pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih
identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam
tingkat tertentu.
Sejalan dengan perjalanan waktu pengertian
kurikulum mulai berkembang dan cakupannya lebih luas, yaitu mencakup segala
aspek yang mempengaruhi pribadi siswa. Kurikulum dalam pengertian yang modern
ini mencakup tujuan, mata pelajaran, proses belajar dan mengajar serta
evaluasi. Berikut ini adalah macam-macam kurikulum yang berkembang pada masa
bani Umayyah:
a.
Kurikulum Pendidikan
Rendah
Terdapat kesukaran
ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang membentuk kurikulum
untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk
tingkat rendah maupun untuk tingkat penghabisan, kecuali Alquran yang terdapat
pada kurikulum. Kedua, kesukaran
diantara membedakan fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada
masa tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga
pendidikan.
Sebelum berdirinya
madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi tidak hanya satu
tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di diskusi halaqah. Tidak ada
kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Dilembaga kuttab
biasanya diajarkan membaca dan menulis disamping Alquran. Kadang diajarkan
bahasa, nahwu, dan arudh.
Umumnya pelajaran
diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang. Baik di Kuttab atau di
Masjid pada tingkat menengah. Ilmu-ilmu yang diajarkan pada Kuttab pada
mula-mulanya adalah dalam keadaan sederhana, yaitu: belajar membaca dan
menulis, membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, belajar pokok-pokok agama Islam,
seperti cara wudhu, shalat, puasa dan sebagainya. Ilmu-ilmu yang diajarkan pada
tingkat menengah dan tinggi terdiri dari: Al-Qur’an dan tafsirannya, hadis dan
mengumpulkannya, serta fiqih (tasri’).
b. Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum pendidikan
tinggi (halaqah) bervariasi tergantung pada syaikh yang mau mengajar. Para
mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian
juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu.
Mahasiswa bebas untuk mengikuti pelajaran di sebuah halaqah dan berpindah dari
sebuah halaqah ke halaqah yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain.
Menurut Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa karena
diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan
mereka mengenai Alquran dan agama. Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi
kepada dua jurusan, jurusan ilmu-ilmu agama (al-ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu pengetahuan (al-ulum al-aqliyah).
2.
Lembaga pendidikan islam pada masa Bani Umayyah
Lembaga
pendidikan Islam dimasa ini diklasifikasikan atas dasar muatan kurikulum yang
diajarkan. Dalam hal ini, kurikulumnya meliputi pengetahuan agama (Lembaga
pendidikan formal) dan pengetahuan umum
(non formal). Adapun lembaga pendidikan Islam yang ada sebelum kebangkitan
madrasah pada masa Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
a. Shuffah, adalah suatu tempat
yang telah dipakai untuk aktivitas pendidikan. Biasanya tempat ini menyediakan
tempat pemondokan bagi pendatang baru dan mereka tergolong miskin. Disini para
siswa diajarkan membaca dan menghafal Alquran secara benar dan hukum Islam dibawah
bimbingan langsung dari nabi. Pada masa ini setidaknya telah ada sembilan
shuffah yang tersebar dikota Madinah. Dalam perkembangan berikutnya, sekolah
shuffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi,
geneologi, dan ilmu fonetik.
b. Kuttab/Maktab,adalah Lembaga
pendidikan Islam tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan menulis kemudian
meningkat pada pengajaran Alquran dan pengetahuan agama tingkat dasar.
c. Halaqah artinya lingkaran. Artinya, proses belajar
mengajar di sini dilaksanakan di mana murid-murid melingkari gurunya. Seorang
guru biasanya duduk dilantai menerangkan, membacakan karangannya, atau
memberikan komentar atas karya pemikiran orang lain. Kegiatan halaqah ini bisa
terjadi di masjid atau di rumah-rumah. Kegiatan halaqah ini tidak khusus untuk
mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum,
termasuk filsafat.
d. Majlis, yang berarti sesi dimana aktivitas pengajaran
atau diskusi berlangsung. Ada beberapa macam majlis seperti; Majlis al-Hadits, majlis ini
diselenggarakan oleh ulama/guru yang ahli dalam bidang hadits. Majlis al-Tadris, majlis ini biasanya
menunjuk majlis selain dari pada hadist, seperti majlis fiqih, majlis nahwu,
atau majlis kalam. Majlis al-Syu’ara,
majlis ini adalah lembaga untuk belajar syair, dan sering dipakai untuk kontes
para ahli syair. Majlis al-Adab,
majlis ini adalah tempat untuk membahas masalah adab yang meliputi puisi,
silsilah, dan laporan bersejarah bagi orang-orang yang terkenal. Majlis al-Fatwa dan al-Nazar, majlis ini merupakan sarana pertemuan untuk mencari
keputusan suatu masalah dibidang hokum kemudian difatwakan.
e. Masjid, Semenjak berdirinya pada masa Nabi Muhammad
Saw, masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum
Muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi.
f. Khan, berfungsi sebagai asrama untuk murid-murid dari
luar kota yang hendak belajar hukum Islam pada suatu masjid, seperti khan yang
dibangun oleh Di’lij ibn Ahmad ibn Di’lij di Suwaiqat Ghalib dekat makam
Suraij. Disamping fungsi itu, khan juga digunakan sebagai sarana untuk belajar
privat.
g. Badi’ah, Secara harfiah badiah artinya dusun Badui di padang sahara yang
di dalam terdapat padang sahara yang didalam terdapat bahasa Arab yang masih
fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Lembaga Pendidikan ini
muncul seiring dengan kebijakan pemerintahan Bani Umayyah untuk melakukan
program Arabisasi yang digagas oleh khalifah Abdul Malik Ibn Marwan. Akibat
dari Arabisasi ini maka muncullah ilmu qawaid dan cabang ilmu lainnya
mempelajari bahasa Arab. Melaui pendidikan di Badiah ini,maka bahasa
Arab dapat sampai ke Irak, Syiria, Mesir, Lebanon, Tunisia, Al-Jazair, Maroko,
di samping Saudi Arabia, Yaman, Emirat Arab,dan sekitarnya. Dengan demikian
banyak para penguasa yang mengirim anaknya untuk belajar bahasa Arab ke Badiah.
3.
Madrasah-Madrasah pada Masa Bani Umayyah
a.
Madrasah Mekkah: Guru pertama yang
mengajar di Makkah, sesudah penduduk Mekkah takluk, ialah Mu’az bin Jabal.
Ialah yang mengajarkan Al Qur’an dan mana yang halal dan haram dalam Islam.
b.
Madrasah Madinah: Madrasah Madinah
lebih termasyur dan lebih dalam ilmunya, karena di sanalah tempat tinggal
sahabat-sahabat nabi. Berarti disana banyak terdapat ulama-ulama terkemuka.
c.
Madrasah Basrah: Ulama sahabat yang
termasyur di Basrah ialah Abu Musa Al-asy’ari dan Anas bin Malik. Abu Musa
Al-Asy’ari adalah ahli fiqih dan ahli hadist, serta ahli Al Qur’an. Sedangkan
Abas bin Malik termasyhur dalam ilmu hadis.
d.
Madrasah Kufah: Madrasah Ibnu
Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang ulama besar, yaitu: ‘Alqamah, Al-Aswad,
Masroq, ‘Ubaidah, Al-Haris bin Qais dan ‘Amr bin Syurahbil.
e.
Madrasah Damsyik (Syam): Setelah
negeri Syam (Syria) menjadi sebagian negara Islam dan penduduknya banyak
memeluk agama Islam. Maka negeri Syam menjadi perhatian para Khilafah. Madrasah
itu melahirkan imam penduduk Syam, yaitu Abdurrahman Al-Auza’iy yang sederajat
ilmunya dengan Imam Malik dan Abu-Hanafiah.
f.
Madrasah Fistat (Mesir): Setelah Mesir
menjadi negara Islam ia menjadi pusat ilmu-ilmu agama. Ulama yang mula-mula
madrasah madrasah di Mesir ialah Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘As, yaitu di Fisfat
(Mesir lama).
C.
Rekonstruksi Pendidikan pada Masa Bani Umayyah untuk di Terapkan di
Indonesia
Berdasarkan paparan pada bab
sebelumnya penulis menawarkan sebuah rekonstruksi untuk mengatasi problematika
pendidikan terkait dengan pengembangan potensi peserta pedidik dalam pendidikan
non formal.
Penulis menawarkan konsep pendidikan
yang direduksi dari kurikulum pendidikan Tinggi pada zaman Bani Umayyah.
Dijelaskan bahwa kurikulum tersebut terdapat halaqoh/proses belajar yang tidak
mengikat peserta didik untuk mendapatkan materi pelajaran.
Hal inilah yang diinginkan penulis
untuk memaksimalkan pendidikan non formal di masyarakat. Sebenarnya pendidikan
seperti ini sudah ada, hanya saja belum di respon oleh masyarakat, sehingga
peserta didik yang mengikuti kegiatan tersebut relatif sedikit. Hal ini
berdampak pada sedikitnya jumlah jenis pendidikan seperti ini di tengah
masyarakat. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu penyebab kurangnya para
tokoh pendidikan Islam untuk menyelenggarakan kajian-kajian keilmuan di luar
pendidikan formal.
Sebagai contoh seperti yang
diketahui di kota Yogya ini baru terdapat beberapa kajian ke ilmuan yang telah
diselenggarakan. Sebut saja ada Padepokan Musya Asy’ari yang menyelenggarakan
kajian setiap bulan yang memberi ruang pada semua
pemikiran kreatif anak bangsa, berisi kajian keilmuan yang menyediakan ruang untuk
tumbuhnya gagasan paradigmatik yang berguna bagi kemajuan bangsa untuk keadilan
dan kesejahteraan rakyat.[4]
Kemudian juga ada tokoh yang kita kenal sebagai
Seniman sekaligus pendakwah yakni Emha Ainun Najib. Beliau juga melaksanakan
kajian sebagaimana yang dilakukan oleh Musya Asy’arie di padepokannya. Emha
Ainun Najib memberikan ruang umum kepada masyarakat untuk ikut pada kajian yang
ia selenggarakan setiap bulan bertempat di rumahnya sendiri.
Hal ini lah yang sangat diinginkan oleh penulis untuk
kita sadari bersama. Harusnya, Indonesia, Yogya khususnya yang memang notabene
nya kota pelajar yang syarat dengan tokoh-tokoh besar, kiranya cukup mumpuni
untuk membuka kajian-kajian keilmuan seperti yang sudah dilakukan oleh Prof.
Musya Asy’ari dan Emha Ainun Najib, dengan harapan lembaga pendidikan non
formal seperti ini pada akhirnya mampu untuk mengangkat dan memajukan
pendidikan bangsa Inonesia.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Problematika pendidikan di Indonesia
sangatlah komplek, salah satunya adalah rendahnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya pendidikan pendidikan non formal yang seharusnya mampu di manfaatkan
sebaik-baiknya.
Pendidikan Islam pada masa Bani
Umayyah tidak jauh berbeda dengan masa Khulafauur rasyidin, namun pada masa
Bani Umayyah terdapat kemuajuan yang cukup signifikan. Pada masa Bani Umayyah
terdapat dua kurikulum yang diterapkan di sana, yakni kurikulum pendidikan
rendah dan kurikulum pendidikan tinggi. Selain itu juga terdapat lemabaga
pendidikan seperti kuttab, suffah, masjid, halaqoh, rumah sakit dll.
Rekonstruksi yang bisa kita ambil
pada Zaman Bani Umayyah untuk dapat diterapkan pada pendidikan di Indonesia
adalah, pengembangan pendidikan non formal berbasis ke ilmuan seperti padepokan
Musya Ast’ari dan Kajian Emha Ainun Najib. Kajian-kajian keilmuan di luar
pendidikan formal seperti ini diharapkan dapat berkembang di masyarakat Indonesia,
agar tercipta kultur keilmuan yang diharapkan dapat memajukan pendidikan di
Indonesia.
B.
Saran
Baik penulis ataupun pembaca, semoga
dapat mengambil hikmah rekonstruksi di atas dan mampu menerapkannya pada
tatanan masyarakat di lingkungan sendiri maupun masyarakat luas.
Daftar Pustaka
-
Hamayulis,
Perubahan Konsep Filsafat dan Metodelogi dari Era Rasulullah sampai Ulama
Nusantara, Jakarta : Kalamulia, 2012
-
Abuddin
Nata (terj.), Pemikiran Pendidikan Islam
pada Abad Pertengahan, Canada: Montreal, 2000,
-
Dwi
Siswoyo, dkk, Ilmu Pendidikan , Yogyakarta : UNY Press,2008
-
padmajogjatama.blogspot.com/2009/.../padepokan-musa-asyarie.html
-
UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[1] UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[2] Dwi Siswoyo,
dkk, Ilmu Pendidikan (Yogyakarta : UNY Press,2008) hlm. 146.
[3] Hamayulis, Perubahan
Konsep Filsafat dan Metodelogi dari Era Rasulullah sampai Ulama Nusantara, (Jakarta
: Kalamulia, 2012), hal. 71.
[4] padmajogjatama.blogspot.com/2009/.../padepokan-musa-asyarie.html
No comments:
Post a Comment