Wednesday 25 April 2012

Filsafat Pendidliran Rekonstruksionisme




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Di zaman sekarang ini masyarakat dunia sedang dalam keadaan krisis kehidupan modern di berbagai bidang. Persoalan-persoalan tentang kependudukan, kesenjangan global, rasisme, nasionalisme sempit dan penggunaan tekhnologi yang tidak bertanggung jawab telah mengancam dunia dan akan memusnahkannya jika tidak dikoreksi sesegera mungkin. Persoalan-persoalan tadi berjalan seiring dengan tantangan totalitarianisme modern, yakni hilangnya nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat luas dan meningkatnya ‘kedunguan’ fungsional penduduk dunia. [1]
Untuk mengatasi krisis kehidupan modern tersebut aliran rekonstrusionisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina konsensus yang paling luas dan paling mungkin mengenai tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.[2]
Sebagian kalangan rekonstruksionis melihat sekolah sebagi agen kekuatan utama yang menyentuh kehidupan seluruh masyarakat, karena ia ‘menyantuni’ anak-anak didik selama usia mereka yang paling peka. Dengan demikian ia dapat menjadi penggerak utama pencerahan problem-problem sosial dan agigator utama perubahan sosial.




B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu aliran rekonstruksionisme?
2.      Bagaimana prinsip rekonstruksionisme dan aplikasinya dalam pendidikan?
3.      Bagaimana teori pendidikan aliran rekonstruksionisme?

C.     Tujuan dan Manfaat Penulisan
Sesuai latar belakang dan rumusan masalah yang ada, maka tujuan dan manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
1.      Tujuan Penulisan
a.       Mengetahui tentang filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme
b.      Mengetahui tentang prinsip-prinsip rekonstruksionisme dan aplikasinya dalam dunia pendidikan
c.       Mengetahui tentang teori pendidikan rekonstruksionisme
2.      Manfaat Penulisan
a.       Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi kepada praktisi pendidikan, dalam mengahadapi permasalahan yang ada.
b.      Dapat memberi sumbangan informasi kepada lembaga pendidikan, khususnya pendidikan formal dalam melaksanakan pembelajaran berbasis rekonstruksi sosial.

D.    Metodologi Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan metode berpikir induktif, di mana penulis  menyajikan data-data yang ada kemudian mengambil sebuah kesimpulan. Sedangkan dalam pendekatannya penulis menggunakan pendekatan filosofis.


BAB II
ISI
A.    Aliran Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme berasal dari bahasa inggris Reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.[3]
Pada dasarnya aliran rekonstruksionisme sepaham dengan aliran perenialisme bahwa ada kebutuhan amat mendesak untuk kejelasan dan kepastian bagi kebudayaan zaman modern sekarang (hendak menyatakan krisis kebudayaan modern), yang sekarang mengalami ketakutan, kebimbangan dan kebingungan. Tetapi aliran rekonstruksionisme tidak sependapat dengan cara dan jalan pemencahan yang ditempuh filsafat perenialisme. Aliran perenialiseme memilih jalan kembali ke alam kebudayaan abad pertengahan. Sementara itu aliran rekonstruksionisme berusaha membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Untuk mencapai tujuan utama tersebut diperlukan kerjasama antar umat manusia. Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat mausia atau bangsa. Oleh karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan ummat manusia.[4]
Dengan singkat dapa dikemukakan bahwa aliran rekonstruksionisme bercita-cita untuk mewujudkan suatu dunia dimana kedaulatan dunia berada dalam pengayoman atau subordinat dari kedaulatan dan otorita internasional.

B.     Prinsip Rekonstruksionisme dan Aplikasinya dalam Pendidikan
George counts sebagai pelopor rekonstruksionisme dalam publikasinya Dare the school build a new sosial order mengemukakan bahwa sekolah akan betul- betul berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru secara keseluruhan. Masyarakat yang menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah sosial yang besar merupakan tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai agen pembaharu dan rekonstruksi sosial dari pada pendidikan hanya mempertahankan status qua dengan ketidaksamaan-ketidaksamaan dan masalah-masalah yang terpendam di dalamnya.
Counts mengajak para pendidik untuk membuang mentalitas budak mereka, agar secara hati-hati menggapai kekuatan dan kemudian berjuang membentuk sebuah tatanan sosial baru yang didasarkan pada sistem ekonomi kolektif dan prinsip-prinsip politik demokratis. Ia menyeru kalangan profesional pendidikan untuk mengorganisir diri dari tingkat Taman Kanak-Kanak (TK) hingga perguruan tinggi (PT) dan menggunakan kekuatan teroganisir mereka untuk kepentingan-kepentingan masyarakat luas.[5]
Kecenderungan pemikiran tersebut memunculkan sebuah kebalikan dari peran tradisional sekolah sebagai pengalih budaya yang bersifat pasif menuju ke sebagai agen reformasi kemasyarakatan yang bersifat aktif.

C.     Teori Pendidikan Rekonstruksionisme
a.       Tujuan Pendidikan
1.      Sekolah-sekolah rekonstruksionis berfungsi sebagai lembaga utama untuk melakukan perubahan sosial, ekonomi dan politik dalam masyarakat.
2.       Tugas sekolah-sekolah rekonstruksionis adalah mengembangkan ”insinyur-insinyur” sosial, warga-warga negara yang mempunyai tujuan mengubah secara radikal wajah masyarakat masa kini.
3.      Tujuan pendidikan rekonstruksionis adalah membangkitkan kesadaran para peserta didik tentang masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi umat manusia dalam skala global, dan mengajarkan kepada mereka keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
b.      Metode Pendidikan
Analisis kritis terhadap kerusakan-kerusakan masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan programatik untuk perbaikan. Dengan demikian menggunakan metode pemecahan masalah, analisis kebutuhan, dan penyusunan program aksi perbaikan masyarakat.
c.       Kurikulum
Kurikulum berisi mata-mata pelajaran yang berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat masa depan. Kurikulum banyak berisi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi umat manusi, yang termasuk di dalamnya masalah-masalah pribadi para peserta didik sendiri; dan program-program perbaikan yang ditentukan secara ilmiah untuk aksi kolektif. Struktur organisasi kurikulum terbentuk dari cabang-cabang ilmu sosial dan proses-proses penyelidikan ilmiah sebagai metode pemecahan masalah.
d.      Pelajar
Siswa adalah generasi muda yang sedang tumbuh menjadi manusia pembangun masyarakat masa depan, dan perlu berlatih keras untuk menjadi insinyur-insinyur sosial yang diperlukan untuk membangun masyarakat masa depan.
e.       Pengajar
Guru harus membuat para peserta didik menyadari masalah-masalah yang dihadapi umat manusia, mambatu mereka merasa mengenali masalah-masalah tersebut sehingga mereka merasa terikat untuk memecahkannya.
Guru harus terampil dalam membantu peserta didik menghadapi kontroversi dan perubahan. Guru harus menumbuhkan berpikir berbeda-beda sebaga suatu cara untuk menciptakan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang menjanjikan keberhasilannya.








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern yang dibangun atas kerjasama seluruh umat manusia melalui pendidikan.
Pemikiran konstruksionisme menginginkan sebuah kebalikan dari peran tradisional sekolah sebagai pengalih budaya yang bersifat pasif menuju ke sebagai agen reformasi kemasyarakatan yang bersifat aktif.
Dalam teori pendidikan rekonstruksionisme pendidikan harus memunculkan kesadaran peserta didik akan persoalan-persoalan sosial dan mendorong mereka untuk secara aktif memberikan solusi terhadap permaslahan-permaslahan yang ada.









Daftar Pustaka
Binti Maunah, 2009. Landasan Pendidikan (Yogyakarta : Teras)
Djumberansjah Indar, 1994. Filsafat Pendidikan ( Surabaya : Karya Abditama)
George R. Knight, 2007.  Filsafat Pendidikan Terj. Mahmud Arif (Yogyakarta : Gama Media)
Jalaludin dan Abdullah Idi, 1987.  Filsafat Pendidikan : Manusia, Filsafat dan Pendidikan (Jakarta: Gaya Media Pratama)
Mohammad Noor Syam, 1986.  Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila (Surabaya : Usaha Nasional)
Mudyarhardjo Redja, 2004.  Pengantar Pendidikan (Jakarta : Raja Grafindo Persada)
Teguh Wangsa Gandhi HW, 2011.  Filsafat Pendidikan : Mazhab-Mazhab Filsafat pendidikan (Yogyakarta : Arruz Media)













Daftar Pustaka


[1] George R. Knight, Filsafat Pendidikan Terj. Mahmud Arif (Yogyakarta : Gama Media, 2007), hlm. 186
[2] Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila (Surabaya : Usaha Nasional, 1986), hlm. 341
[3] Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan : Manusia, Filsafat dan Pendidikan ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hlm. 97.
[4] Teguh Wangsa Gandhi HW, Filsafat Pendidikan : Mazhab-Mazhab Filsafat pendidikan (Yogyakarta : Arruz Media, 2011), hlm. 190
[5] George S. Counts, Dare the School Build a New Social Order? (New York : Joh  Day Co, 1932) hlm. 28-30.

Thursday 19 April 2012

Penilaian Ranah Afektif PAI





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Dalam pendidikan kita mengenal ada tiga ranah yang menjadi ukuran penilaian dalam pembelajaran, yaitu kognitif, afektif, psikomotorik. Masing-masing ranah mempunyai kriteria-kriteria tertentu dalam pengukurannya. Begitu pula dengan cara pengukurannya, tiap-tiap ranah tentu berbeda.
Pengukuran pada ranah afektif tidak semudah melakukan pada pengukuran kognitif. Namun itu bukan berarti ranah tersebut tidak dapat diukur. Ada kriteria-kriteria tertentu ang menjadi pedoman dalam pengukuran ini. Dalam makalah ini akan dibahas mengenain apa itu ranah afektif, apa saja tahapannya serta bagaimana cara kita mengukur ranah tersebut. Dengan makalah ini diharpakan kita dapat lebih memahami mengenai ranah afektif dan nantinya dapat mengaplikasikannya dalam dunia pendidikan.

      
B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian ranah afektif ?
2.      Bagaimana tahapan- tahapan dalam ranah afektif ?
3.      Aapa saja kriteria yang dikembangkan dalam ranah afektif  dan cara pengukurannya?




BAB II
PEMBAHASAN
a.      Pengertian Ranah Afektif
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Seperti: perhatiannnya terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinannya dalam mengikuti mata pelajaran agama disekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran agama Islam yang di terimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru pendidikan agama Islam dan sebagainya.
Ranah afektif menjadi lebih rinci lagi di bagi  ke dalam lima jenjang, yaitu:
1.      Receiving atau attending (menerima atua memperhatikan), adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Receiving atau attenting juga sering di beri pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu objek. Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia menerima nilai atau nilai-nilai yang di ajarkan kepada mereka, dan mereka mau menggabungkan diri kedalam nilai itu atau meng-identifikasikan diri dengan nilai itu. Contah hasil belajar afektif jenjang receiving , misalnya: Peserta didik bahwa disiplin wajib di tegakkan, sifat malas dan tidak di siplin harus disingkirkan jauh-jauh.
2.      Responding (menanggapi) mengandung arti “adanya partisipasi aktif”. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya salah satu cara. Jenjang ini lebih tinggi daripada jenjang receiving. Contoh hasil belajar ranah afektif responding adalah peserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajarinya lebih jauh atau menggali lebih dalam lagi, ajaran-ajaran Islam tentang kedisiplinan.
3.      Valuing (menilai,  menghargai). Menilai atau menghargai artinya mem-berikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing merupakan tingkat afektif yang lebih tinggi lagi daripada receiving dan responding. Dalam kaitan dalam proses belajar mengajar, peserta didik disini tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai konsep atau fenomena,  yaitu baik atau buruk. Bila suatu ajaran yang telah mampu mereka nilai dan mampu untuk mengatakan “itu adalah baik”, maka ini berarti bahwa peserta didik telah menjalani proses penilaian. Nilai itu mulai di camkan (internalized) dalam dirinya. Dengan demikian nilai tersebut telah stabil dalam peserta didik. Contoh hasil belajar efektif jenjang valuing adalah tumbuhnya kemampuan yang kuat pada diri peseta didik untuk berlaku disiplin, baik disekolah, dirumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
4.      Organization (mengatur atau mengorganisasikan), artinya memper-temukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang universal, yang membawa pada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai kedalam satu sistem organisasi, termasuk didalamnya hubungan satu nilai denagan nilai  lain., pemantapan dan perioritas nilai yang telah dimilikinya. Contoh nilai efektif jenjang organization adalah peserta didik mendukung penegakan disiplin nasional yang telah dicanangkan oleh bapak presiden Soeharto pada peringatan hari kemerdekaan nasional tahun 1995.
5.      Characterization by evalue or calue complex (karakterisasi dengan  suatu nilai atau komplek nilai), yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki oleh seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Disini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalal suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Ini adalah merupakan tingkat efektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-benar bijaksana. Ia telah memiliki phyloshopphy of life yang mapan. Jadi pada jenjang ini peserta didik telah memiliki sistem nilai yang telah mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang lama, sehingga membentu karakteristik “pola hidup” tingkah lakunya menetap, konsisten dan dapat diramalkan. Contoh hasil belajar afektif pada jenjang ini adalah siswa telah memiliki kebulatan sikap wujudnya peserta didik menjadikan perintah Allah SWT yang tertera di Al-Quran menyangkut disiplinan, baik kedisiplinan sekolah, dirumah maupun ditengah-tengan kehidupan masyarakat.

b.  Karakteristik yang Dikembangkan dalam Ranah Penilaian Afektif
Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif (Andersen, 1981:4). Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah sikap, minat, intensitas, arah, dan target.
Berikut ini ada lima karakteristik afektif yang penting untuk dikembangkan berdasarkan tujuannya, yaitu :
  1. Sikap
Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, misalnya PAI, harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti pembelajaran PAI dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.
2.      Minat
Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.Penilaian minat dapat digunakan untuk:mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk pengarahan dalam pembelajaran,mengetahui bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya,pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik, dan menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas. Mengelompokkan didik yang memiliki peserta minat sama, dll.
3.      Konsep Diri
Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi.Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat.
4.      Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan.Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu.
Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap masyarakat.
5.      Moral
Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang per-kembangan moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan pada bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak.Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.Ranah afektif lain yang penting adalah kejujuran, integritas, adil dan kebebasan.
c. Contoh Pengukuran Ranah Penilaian Afektif
Kompetensi siswa dalam ranah afektif yang perlu dinilai utamanya menyangkut sikap dan minat siswa dalam belajar. Secara teknis penilaian ranah afektif dilakukan melalui dua hal yaitu :
a.       Laporan diri oleh siswa yang biasanya dilakukan dengan pengisian angket anonim.
b.      Pengamatan sistematis oleh guru terhadap afektif siswa dengan menggunakan lembar pengamatan.
Ranah afektif tidak dapat diukur seperti halnya ranah kognitif, karena dalam ranah afektif kemampuan yang diukur adalah:
  1. Menerima (memperhatikan), meliputi kepekaan terhadap kondisi, gejala,  kesadaran, kerelaan, mengarahkan perhatian
  2. Merespon,  meliputi merespon secara  diam-diam, bersedia merespon, merasa  puas  dalam merespon, mematuhi peraturan
  3. Menghargai, meliputi menerima suatu nilai, mengutamakan suatu nilai, komitmen terhadap nilai
  4. Mengorganisasi, meliputi mengkonseptualisasikan nilai, memahami hubungan abstrak, mengorganisasi sistem suatu nilai.

Skala yang sering digunakan dalam instrumen (alat) penilaian afektif adalah Skala Likert.
Contoh Skala Likert: Minat terhadap pelajaran PAI
  1. Pelajaran PAI bermanfaat
SS
S
TS
STS
2.       Pelajaran PAI sulit




3.       Tidak semua harus belajar PAI




4.       Pelajaran PAI menarik





Keterangan:
SS : Sangat setuju
S : Setuju
TS : Tidak setuju
STS : Sangat tidak setuju









BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Ranah afektif menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, yaitu: Receiving atau attending, Responding, Valuing,dan Organization, Characterization by evalue or calue complex.
Ada lima tipe karakterstik ang penting untuk dikembangkan dalam ranah afektif, yakni sikap, minat, konsep diri, nilai dan moral.