Friday 25 November 2016

Manisnya Hidup Baru Terasa Setelah Pahitnya Berjuang



“Manisnya Hidup Baru Terasa Setelah Pahitnya Berjuang “
By
Maria Ulfah PK88



Ada alasan kenapa Tuhan menempatkan kita pada situasi yang sulit, terus menghadapkan kita pada permasalahan yang tak berkesudahan. Biasanya, karena Dia ingin kita memiliki kompetensi baru, lalu meningkatkan potensi diri di area itu. Jadi kalau sudah berhasil, di masa depan tidak akan dihadapkan dengan masalah yang sama, ganti dengan kesulitan yang baru, permasalahan  yang baru, ganti dengan pertarungan hidup yang baru. Sungguh bukan perkara mudah, tapi bukankah ini artinya Tuhan memilih kita untuk naik derajatnya? Kuatkan dirimu. Latihlah dirimu menjadi Pejuang. Semua kesulitan yang kita hadapi sekarang dan semua kekurangan serta keterbatasan yang dimiliki ini bisa menjadi pembeda kita diantara yang lain nanti di masa depan. Percaya atau tidak, aku justru seringkali bersyukur atas segala kesulitan yang Tuhan berikan, diantaranya kesulitan dalam menempuh pendidikan karena dengan pahitnya proses melewati masa sulit itu menjadikan keberhasilan terasa kian manis. Berikut ceritanya.
“Anak Miskin dilarang Sekolah”  itulah yang aku rasakan sejak kecil. Ayah meninggal saat aku berusia 7 tahun dan duduk di kelas 3 SD. Kehidupan berbalik begitu saja saat ayah meninggal, karena ia adalah satu-satunya tulang punggung keluarga. Ibu hanya seorang IRT yang tak lulus SD, tentu sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Setelah ditinggal ayah, kehidupan ekonomi kami sangat sulit. Ibu juga bukan seorang yang mengerti pendidikan sehingga ia tak terlalu bersemangat menyekolahkan aku. Aku terancam putus sekolah sejak SD, namun nasihat mendiang ayah mengenai pentingnya pendidikan selalu menjadi motivasi besarku untuk dapat bersekolah setinggi-tngginya. Aku meyakini, bahwa dengan modal pendidikanlah kelak aku dapat merubah nasib keluargaku.
Aku tahu aku tak akan bisa sekolah di SMP karena gaji ibu hanya cukup untuk makan sehari-hari. Aku menyadarinya dan aku tak ingin menyerah begitu saja. Aku memilih untuk menjual es lilin dan dagangan tetangga agar mendapat upah yang bisa ku tabung untuk membayar uang masuk SMP. Alhasil akupun bisa masuk SMP. Perjuangan tak berhenti di situ, saat aku menginjak kelas 3 SMP, aku kembali harus berfikir keras untuk melanjutkan sekolahku. Kelulusanpun tiba, aku tak kunjung melihat peluang untuk sekolah. Aku mengadu kepada Allah. “Mintalah kepadaku maka akan ku kabulkan” begitu firman-Nya. Allah membukakan jalannya, ia tak memberikanku segepok uang, namun ia memberikanku sebuah keberanian dan azzam yang kuat untuk tetap meneruskan mimpiku untuk bersekolah.
Aku menjual antingku, satu-satunya perhiasan yang kumilki untuk membeli formulir sekolah. Akupun mengikuti tes masuk dan dinyatakan lolos. Kali ini, masalahnya lebih besar dari sekedar harga formulir. Kini, aku harus membayar 1,3jt untuk biaya masuk. Saat itu, 50 ribupun aku tak punya, apalagi sebayak itu. Aku memberanikan diri untuk menghadap ketua remaja masjid untuk memberikanku uang arisan. Kami memang punya arisan mingguan, tiap minggunya membayar 5000. Alhamdulillah ketua dan anggota lainnya setuju agar aku saja yang mendapat giliran menang arisan minggu ini, karena aku harus segera membayar uang sekolahku. Saat itu jumlahnya hanya Rp. 650.000. Tentu masih kurang setengahnya. Rejeki tak disangka-sangka, tetanggaku memberiku uang Rp. 700.000,maka akhirnya aku dapat melunasi tagihan itu.
Aku dianggap cukup gila bagi orang-orang di lingkunganku bahkan keluargaku. Tak banyak orang yang mensupportku kecuali Kakek. Dialah orang yang paling mempercayai kemampuanku. Sejak Aliyah aku aktif dalam berbagai kegiatan dan perlombaan. Saat menang lomba, aku selalu menabung karena hal yang sama pasti akan terjadi saat aku akan kuliah nanti.
Tahun 2010, akupun lulus dari Aliyah. Ibu senang sekali karena tak menyangka aku akan bisa sekolah sejauh ini. Ia menangis haru dan mengatakan “mulai hari ini ibu akan selalu mendukungmu, ibu percaya padamu”. Hatiku terenyuh, tak ada hal yang lebih membahagiakan selain ridho seorang ibu. Bermodalkan ridho Ibu dan tabungan semasa SMA aku mendaftar kuliah di Jogja. Meski kali ini tantangannya lebih berdarah-darah dari sebelumnya, aku tetap menjalaninya. Saat tahun awal perkuliahanku, ibu sering menelponku dengan derai tangis sambil bercerita bahwa tetangga di kampung sering bergunjing tentang diriku. Aku yang mungkin saja “melacurkan diri” untuk mengisi perut dan membayar ongkos pendidikanku. Hatiku benar-benar ngilu, tapi sungguh aku tak akan menyerah.
Kawan untuk sebuah kesuksesan tak ada yang benar-benar menyenangkan. Kita tentu harus menyiapkan mental sekuat baja, hati seluas samudera. Kita boleh kesal dengan keadaan yang serba kurang serta omongan yang sering direndahkan, Tapi, setelah itu kita harus bisa bangkit dan berusaha perbaiki keadaan dan menjadikannya kekuatan untuk bertahan.
Saat kuliah S1 dulu, untuk bisa bertahan hidup dan membayar kuliah aku mengajar privat, berjualan buku, jadi guru ngaji bahkan menjadi distributor baju dari Jogja ke Kalimantan. Segala peluang usaha kucoba untuk bertahan hidup dan Alhamdulillah sesekali bisa mentransfer uang untuk ibu di kampung. Ditengah kesibukan organisasi dan bekerja aku tetap focus kuliah. Aku selalu mengingat tujuan utamaku. Selain itu aku selalu bermabisi ingin cepat lulus karena ingin sesegera mungkin membantu ibu. Alhamdulillah, berkat ridho ibu aku lulus dengan IPK 3,66 dengan masa studi 3 tahun 4 bulan 29 hari. Tangis haru penuh rasa syukur saat ibu bisa hadir dan melihat aku wisuda. Ia memelukku haru penuh bangga. Pengorbanan terbayar sudah.
S1 telah usai, apa perjuangan selanjutnya? Sejak SMA aku ingin sekali bisa kuliah ke luar negeri. Aku tak menyia-nyiakannya saat negara ku tercinta menyatakan diri siap memfasilitasi pendidikan anak bangsa lewat beasiswa LPDP. Akupun mendaftar dan melewati berbagai macam proses seleksinya hingga lulus dan bertemu dengan manusia luar biasa lainnya di PK 88 “Metamorfosa”. Segala puji bagi Allah. Perjuangan ini terasa amat manis setelah melewati kerasnya perjuangan. Tuhan terimakasih telah menjaga semangat juang ini tetap membara. Perjalanan ke depan masih panjang. Tugasku selanjutnya adalah memastikan bangsa Indonesia tak keliru menitipkan pundi rupiahnya padaku. Semoga ilmu yang didapat selama studi menjadi jalan bagiku untuk ikut turun tangan membangun Indonesia tercinta. Aamiin.
Jika ada yang bertanya mengapa begitu berambisi S2? Aku ingin menjadi manusia yang banyak member manfaat. Memangnya S1 tidak banyak memberi manfaat? (pertanyaan ini sebelumnya sudah ditanyakan oleh interviewer saat wawancara LPDP). Baiklah akan ku jawab. Aku meyakini sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa “jika kita ingin member lebih maka kita juga harus memiliki lebih”. Kawan, waktu kita singgah di dunia ini benar-benar terbatas. Jadilah sesuatu yang baik dan banyak memberi manfaat. Yuk, kita buat sebuah cerita yang berbeda, sebuah karya yang positif, serta bermanfaat bagi banyak orang di sekeliling kita.