BAB
I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Masalah ilmu
pengetahuan mungkin menjadi masalah terpenting bagi kehidupan manusia. Hal ini
menjadi ciri manusia karena manusia senantiasa bereksistensi, tidak hanya
berada seperti batu atau rumput yang berada di tengah lapangan. Oleh karena
itu, manusia yang berbudaya, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan menggunakannya
untuk kehidupan pribadi dan lingkungan yang telah mereka antisipasikan.
Sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan berpengaruh sangat besar bagi kemajuan di dunia,
bahkan banyak penemuan yang terjadi di dunia timur yang baru dikembangkan pada
dunia barat. Namun perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu
kepada peradaban Yunani, kemudian diakhiri pada penemuan-penemuan pada zaman
kontemporer. Kemudian muncul salah satu pemikiran mengenai “peran paradigma
dalam revolusi sains”, yang mengubah perspektif historis masyarakat yang
mengalaminya dan perubahan itu pula yang mempengaruhi struktur buku-buku teks
dan publikasi-publikasi riset pasca revolusi. Dia adalah Thomas Samuel Kuhn.
Dalam bukunya tersebut banyak mengubah persepsi orang terhadap apa yang
dinamakan ilmu. Menurut Kuhn ilmu bergerak melalui tahapan-tahapan yang akan
berpuncak pada kondisi normal dan kemudian digantikan oleh ilmu atau paradigma
baru. Paradigma baru bahkan akan mengancam paradigma lama yang sebelumnya
menjadi paradigma baru.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Paradigma Ilmu
Paradigma dimbil dari bahasa Inggris, paradigm. Dari bahasa Yunani, para deigma
dari kata para (di samping, di
sebelah), dan dekynai (
memperlihatkan; yang berarti model, contoh, arketipe, ideal). [1]
Bebarapa
pengertian lain adalah :
1. Cara
memandang sesuatu.
2. Dalam
ilmu pengetahuan : Model, pola, ideal. Dari model- model ini, fenomena yang
dipandang , dijelaskan.
3. Dasar
untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem
riset.
Paradigma
merupakan konstruk berpikir yang mampu
menjadi wacana untuk temuan ilmiah: yang dalam konseptualisasi khun : menjadi
wacana untuk temuan ilmiah baru.[2]
B. Proses
Perkembangan Paradigma Ilmu Pengetahuan
Berikut
ini akan dibahas panjang lebar mengenai Perkembangan Ilmu pengetahuan menurut
Kuhn.
Dalam pemikiran Kuhn,perkembangan sains dimulai dari
tahap pre-paradigmatic stage ( fase pra-paradigma), yakni sebuah era dimana
pengetahuan manusia belum memiliki seperangkat teori, metoe, dan pegangan
ilmiah lain yang disebutnya dengan Paradigma. Era ini kira-kira yang dimiliki
oleh masyarakat primitif. Mereka dalam menyeleaikan problem-problemnya belum menggunakan
pegangan-pegangan tertentu yang merupakan hasil kreativitas para pendahulunya.
Semua persoalan diselesaikannya dengan apa adanya, tanpa seperangkat teori dan
metode.
Seiring dengan pergantian generasi, akhirnya muncul
teori-teori, metode-metode, fakta-fakta, eksperimen-eksperimen yang disepakati
bersama dan menjadi pegangan bagi aktivitas ilmiah para ilmuwan. Inilah yang
oleh Kuhn disebut paradigma. Paradigma menurut Kuhn juga membantu komunitas
ilmiah untuk membatasi disiplinnya dan menciptakan penemuan-penemuan,
merumuskan persoalan, memilih metode yang tepat dalam menjawab persoalan,
menentukan wilayah kajian, dan lain-lain. Jadi, paradima adalah sesuatu yang
esensial bagi penyelidikan ilmiah (scientific inquiry)[3].
Proses munculnya suatu paradigma adalah melalui
proses kompetisi antara berbagai macam teori yang pernah muncul. Hanya teori
yang terbaik saja yang akan dapat diterima sebagai suatu paradigma oleh
komunitas ilmiah. Walaupun begitu, sejarah membuktikan bahwa tak ada paradigma
yang sempurna dalam menyelesaikan problem ilmiah. Oleh karena itu, penelitian
akan tetap terus dibutuhkan. Dan suatu paradigma akan membentuk suatu komunitas
ilmiah tertentu.
Suatu paradigma yang telah disepakati oleh komunitas
ilmiah, karena keunggulannya dalam menyelesaikan problem ilmiah, akan menjadi
fondasi bag munculnya norma science. Norma science terdiri dari suatu paradigma
saja. Karena apabila terdiri dari banyak paradigma, akan berakibat tumpang
tindih dan tidak menjadi normal scence lagi.
Segala aktivitas penelitian ilmiah yang taat dengan
paradigma tertentu, walaupun dengan formulasi-formulasi dan berbagai
pengembangan, berarti ia masih berada di bawah naungan paradigma lama. Itu
artinya, ia masih belum keluar dari normal science lama, karena paradifma lama
masih dipakainya. Selama komunitas ilmiah masih enganggap bahwa paradigma
tertentu masih bisa menjawab problem-problem ilmiah, maka selama itu pula
normal science lama masih berdiri kokoh.
Menurut Kuhn, sejarah membuktikan bahwa tidak ada
suatu paradigma yang sempurna menjawab semua problem ilmiah. Problem-problem
ilmiah yang tidak mampu diselesaikan oleh suatu paradgma oleh Kuhn disebut
dengan “anomaly”. Jadi, menurut Kuhn “anomaly appears only againts the
bacgroundthe paradigmz provided by the paradigm’. Anomali muncul karena
paradigma lama tidak mampu lagi menjawab problem-problem ilmiah yang muncul
belakangan. Sebagai contohnya adalah paradigma geosentris (plotemius), yang
digantikan oleh paradgma heliosentris Copernicus.
Seiring dengan perkembangan fakta ilmiah, problem
yang tak dapat diselesaikan oleh paradigma tu semakin menumpuk. Tumpukan
anomali ini akhirnya berwujud menjadi sebuah krisis. Krisis adalah suatu fase
dimana old paradigm telah sempoyonggan dalam menyelesaikan problem ilmah baru.
Old normal-science dalam fase in telah berada pada posisi semakin jauh dan tak
dapat didamaikan lagi (inconmmensurable) dengan problem baru. Dan krisis inilah
yang akhirnya memicu penelitian selanjutnya. Penelitian-penelitian itu menghasilkan
satu paradigma baru (new paradigm). Dalam proses munculnya paradigma baru itu,
Kuhn menyebutkan adanya a paradigm war (peperangan paradigm). Beberapa kandidat
paradigma bertempur dan saling mengalahkan. Biasanya para pendukung paradigma
lama akan sulit menerima kehadiran paradigma baru. Tapi, waktu akan berpihak
memenangkan paradigma baru. Akhirnya, komunitas ilmah akan dapat menentuka satu
paradigma yang valid dalam menjawab problem-problem yang terakumulasi dalam
krisis. Satu paradigma baru ini, akan mendasari normal science yang baru.
Proses dari normal science lama sehingga munculnya
normal science baru, kemudian menyusul normal cience yang lebih baru lagi, dan
seterusnya difahami oleh Kuhn sebagai proses yang tak pernah berakhir. Dan
inilah yang menghasilkan perkembangan ilmiah (scientific progress). Oleh karena
itu, kuhn menyatakan “ The successtive transition from one paradigm to another
via revolution is the usual devlopmental pattern of mature science” (transisi
yang berturut-turut dari satu paradigma ke paradigma yang lain lewat revolusi
adalah pola perkembangan yang lazim dari ilmu yang telah masak).
Degan demikian, perkembangan ilmiah menurut Kuhn
tidak berjalan akumulatif-revolusioner, tapi non-akumulatif-revolusioner.
Alasan Kuhn adalah bahwa perubahan aradigma lama ke paradgma baru berlangsung
secara radikal, yang satu mematikan yang lain.
Jadi,
dalam pandangan Kuhn, kebenaran sains itu relatif dan sangat tergantung pada
social factor yag berupa masyarakat ilmuwan. Sains tidak bisa memberikan
kebenaran sui-generis, kebenaran objektif dan satu-satunya. Ia hanya memberikan
kebenaran tentatif[4].
Dengan itu Kuhn menyatakan bahwa ilmu tidak terlepas dari fakor ruang dan
waktu.[5]
C. Reson dan Kritik terhadap Kuhn
Pemikiran
Kuhn yang bisa dibiilang radikal itu, mendapat tanggapan yang luas dari banyak
kalangan. Sikap pro dan kontra bermunculan dari para ilmuan. Tim healy,
misalnya, dari Santa Clara mengakui bahwa teori “paradigm shift” Kuhn memang
benar. Semua kehidupan, keilmuan, sosial, agama, dll, terbukti mengalam
“paradigm shift”. Bahkan menurut Healy, teori paradigm shift dapat dipakai
untuk memahami segala persoalan hidup.
Steven
Hodas, membrikan komentar yang menarik. Menurutnya, pemikiran Kuhn mengagetkan
mayoritas masyarakat Amerika era 1960-an, yang meyakini keberhasilan sains
dalam mencapai kebenaran final. Kuhn menggagalkan semua keyakinan ini, dengan
menyatakan bahwa kebenaran sains tak lebih hanyalah a culture practice. Oleh
karena itu, kebenaran sains itu relatif. Komentar Hodas ini berdekatan dengaan
Weinberg, menurutnya yang menjadikan Kuhn tampak seprti seorang pahlawan bagi
para filsuf, sejarawan, sosiolog, dan budayawan antikemapanan adalah
kesimpulannya yang skeptis-radikal tentang kemampuan sains dalam menentukan
kebenaran. Dengan demikian, sains tak ubahnya seerti demokrasi atau permainan
base ball, sebuah konsensus sosial. Weinberg mengkritik Kuhn tentang
incommensurable (dua paradigma yang tak bisa didamaikan) yang oleh karena itu
ilmuwan tak bisa menengok kembali paradigma lama. Menurut Weinberg, Kuhn keliru
dalam hal ini. Pada kenyataannya, pergeseran paradigma tidak otomatis
mengakibatkan kita tak lagi bisa memahami realitas ilmiah dengan paradigma
lama.
Kuhn
juga mendapat kritikan dari banyak kalangan, karena tidak memberikan definisi
yang tegas tentang istilah “paradigm” yang dia sebut berulang-ulang dalam
bukunya. Di samping itu, ia juga dikritik karena terlalu mendramatisir
pertentangan sehingga menjadi “revolusi” antara normal science lama dengan yang
baru.
Kritik
paling mendasar datang dari Imre Lakatos. Menurutnya, teori Kuhn tentang
revolusi sains memang menakjubkan. Tetapi, sayang ia miskin metodologi
normatif. Atas kriteria apa suatu paradigma bisa dianggap unggul dan berhak
menjadi paradigma tunggal bagi normal science?
Kuhn ternyata hanya melemparkan persoalan ini pada centific community.
Sebuah eori yang tidak tuntas. Oleh karena iu, Laktos tampil kedepan untuk
menjawab problem yang disisakaan oleh Kuhn. Ia membangun teori baru melanjtkan
kuhn dan menulis “Falsifcation and The methodeloghy of Scientific Research
Program”.
Lepas
dari pro kontra terhadap teori Kuhn,
kita tidak dapat memungkiri kebenaran teori ini dalam berbagai disiplin ilmu
dan kehidupan. Walaupun teori ini muncul dari lngkungan ilmu-ilmu kealaman,
bidang yang ditekuni Kuhn tapi teori ini sudah sering dipakai, disadari atau
tidak, oleh para ilmuwan dalam wilayah Ilmu-ilmu sosial dan humaniora.[6]
Apapun
keberatan-keberatan orang terhadap Kuhn,
tetapi Kuhn telah terlanjur menjadi sosok ilmuwan sukses yang fenomenal.
Bernard Cohen telah berupaya melacak bukti-bukti sejarah tentang kebenaran
teori Kuhn ini mulai abad XVII hingga XX. Hasilnya memang benar, revolusi sains
memang sungguh trjadi, terutama di lingkungan natural scinces.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Paradigma merupakan
konstruk berpikir yang mampu menjadi wacana untuk temuan ilmiah: yang
dalam konseptualisasi khun : menjadi wacana untuk temuan ilmiah baru.
Perkembangan ilmiah menurut Kuhn tidak berjalan akumulatif-revolusioner, tapi
non-akumulatif-revolusioner. Alasan Kuhn adalah bahwa perubahan aradigma lama
ke paradgma baru berlangsung secara radikal, yang satu mematikan yang lain.
Jadi, dalam pandangan Kuhn, kebenaran
sains itu relatif dan sangat tergantung pada social factor yag berupa
masyarakat ilmuwan. Sains tidak bisa memberikan kebenaran sui-generis,
kebenaran objektif dan satu-satunya. Ia hanya memberikan kebenaran tentatif.
Dengan itu Kuhn menyatakan bahwa ilmu tidak terlepas dari fakor ruang dan
waktu.
Daftar
Pustaka
Thomas Kuhn, Peran
Paradigma dalam Revolusi Sains, Bandung : Remadja Karya, 1989.
Fanani Muhyar, Pudarnya
Pesona Ilmu Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007.
Sofyan Ayi, Kapita
Selekta Filsafat, Bandung : Pustaka Setia, 2010.
[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Cet.
III, Jakarta; Gramedia, 2002, hlm. 779
[2] Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu,
Edisi 2, Cet. I , Yogyakarta: Rakesarasin,2001,hlm.177
[3] Fanani
Muhyar, Pudarnya Pesona Ilmu Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007. Hal. 26
[5]
Sofyan Ayi, Kapita Selekta Filsafat, Bandung : Pustaka Setia, 2010 hal.
158
No comments:
Post a Comment