Friday 6 March 2015

Ibu, Sang Pemahat Karakter Anak

Ibu, Sang Pemahat Karakter Anak
By : Maria Ulfah, S.Pd.I (Relawan SGI Angkatan 7)
Peran perempuan di era global ini sangat beragam. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk turut berkontribusi dalam membangun bangsa, salah satunya melalui pendidikan.
Ibu adalah madrasah pertama, bagi anak-anak. Perannya dalam pendidikan mulai berjalan sejak ia mengandung si buah hati. Anak-anak tumbuh dalam sebuah kelauarga dalam asuhan ibu yang melahirkannya. Sejalan dengan tugas reproduksinya, ibu mempunyai peran yang lebih signifikan dari pada ayah pada pendidikan usia dini seorang anak. Tak dapat dipungkiri, seorang anak akan lebih dekat pada ibunya bila dibandingkan dengan ayah,  karena pada masa itu ibu memiliki kedekatan lebih intens dan mendalam dengan anaknya ketimbang ayah.
Sejak tumbuh dalam kandungan hingga usia 0-5 tahun sebagian besar anak banyak menghabiskan waktunya didampingi ibu tercinta. Kita mengenal usia dini (0-5 tahun) adalah masa keeemasan (golden age) seorang manusia yang akan menentukan usia-usia selanjutnya. Tentunya ibu lah yang paling berperan dalam mengisi masa paling cemerlang seorang anak yang pada akhirnya menjadi penentu perkembangan anak di masa berikutnya. Apabila seorang anak berada dalam asuhan seorang ibu yang baik dan mengerti bagaimana seharusnya ia berperan menjadi sosok ibu sekaligus guru bagi anaknya maka ia akan tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berkarakter, namun sebaliknya apabila seorang anak ditangani oleh seorang ibu yang tidak mengerti bagamaimana seharusnya ia menjalankan fungsi dan peran sebagai ibu sekaligus guru bagi anak-anaknya maka ia akan tumbuh menjadi anak yang “bermasalah”.
Ibu adalah The First Teacher for Child (Guru pertama untuk anak). Sebagaimana namanya, guru (digugu dan ditiru), maka ia senantiasa menjadi teladan. Figur seorang ibu akan sangat menentukan karakter anaknya. Tak heran banyak anak-anak yang tumbuh cerdas dan baik ahlaknya lahir dari perempuan-perempuan luar biasa. Sebagaimana Hasan dan Husein cucu baginda Rasulullah, tumbuh sebagai pemuda pemberani yang cerdas dan tangguh lewat didikan seorang ibu yang luar biasa yakni Fatimah r.a. binti Muhammad SAW. Begitu pula dengan Bung Karno sebagai founding father republik ini ia juga lahir dari rahim seorang ibu yang luar biasa. Oleh karenanya tak berlebihan jika ada pepatah yang mengatakan “ Dibalik bangsa yang besar, ada wanita hebat di belakangnya”. Hal ini dikarenakan peranan perempuan yang begitu besar dalam menyiapkan generasi penerus bangsa selanjutnya. Di tangan para ibulah pendidikan usia dini anak diamanahkan. Meski dewasa ini lembaga pendidikan formal untuk anak usia dini seperti play group dan PAUD semakin menjamur, namun hal itu belum bisa dibandingkan dengan besarnya pengaruh pendidikan dalam keluarga, dimana ibu berperan sebagai tokoh utamanya.
Dewasa ini, bangsa yang tumbuh berkembang dengan pesat pendidikan karakternya adalah Jepang. Mengapa Jepang bisa menjadi negara maju seperti hari ini dengan generasi penerusnya yang kuat dan handal serta berkarakter? Ibu. Ya, jawabannya Ibu. Di Jepang ada julukan “kyoiku mama” atau dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan “ibu pendidikan”. Kyoui mama adalah para ibu yang siap siaga menjalankan fungsi dan perannya sebagai ibu sekaligus guru pada anak-anaknya. Jangan heran, mereka bukan orang yang tak lulus sekolah, rata-rata dari mereka adalah para perempuan lulusan S1, S2 yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga sehingga ia bisa mendidik anaknya sebaik mungkin dengan tangannya sendiri. Begitu pula dengan pemerintahannya, pemerintah Jepang memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya pada para ibu yang bersedia meninggalkan karier nya  demi menjadi ibu yang baik bagi putra putrinya. Lewat tangan ibu-ibu hebat itulah kini kita melihat Jepang tumbuh sebagai bangsa yang besar dan terhormat.
Fenomena di atas bukan berarti kita (ibu) harus meninggalkan karier dan kembali menjadi ibu rumah tangga saja. Tapi ini sebagai bentuk refleksi kita untuk melihat bagaimana pentingnya peran ibu dalam membentuk karakter anak-anak bangsa kemudian menghasilkan sebuah kesadaran bagaiamana seharusnya kita bertindak. Bila kita berbicara tentang permasalahan pendidikan karakter pada anak bangsa, maka mari kita menilik pada pendidikan in-formalnya terlebih dahulu. Saya khawatir jangan-jangan akar permasalahan dari karakter ini bukan hanya pada guru-guru di sekolah yang kini kian menjadi sorotan, tapi justru ada pada keluarga. Saya ingin mengajak para pembaca mulai kembali melihat keluarga-keluarga kita terutama ibu. Sudahkah keluarga sebagai lembaga pendidikan in-formal pertama yang diterima oleh anak dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan baik? Apabila belum, maka mari kita bersama segera memperbaiki apa yang seharusnya diperbaiki, sehingga dikemudian hari kita dapat menyaksikan anak-anak kita tumbuh hebat dan berkarakter. Amin.