“Manisnya
Hidup Baru Terasa Setelah Pahitnya Berjuang “
By
Maria Ulfah
PK88
Ada alasan
kenapa Tuhan menempatkan kita pada situasi yang sulit, terus menghadapkan kita
pada permasalahan yang tak berkesudahan. Biasanya, karena Dia ingin kita memiliki
kompetensi baru, lalu meningkatkan potensi diri di area itu. Jadi kalau sudah
berhasil, di masa depan tidak akan dihadapkan dengan masalah yang sama, ganti
dengan kesulitan yang baru, permasalahan
yang baru, ganti dengan pertarungan hidup yang baru. Sungguh bukan
perkara mudah, tapi bukankah ini artinya Tuhan memilih kita untuk naik derajatnya?
Kuatkan dirimu. Latihlah dirimu menjadi Pejuang. Semua kesulitan yang kita
hadapi sekarang dan semua kekurangan serta keterbatasan yang dimiliki ini bisa
menjadi pembeda kita diantara yang lain nanti di masa depan. Percaya atau
tidak, aku justru seringkali bersyukur atas segala kesulitan yang Tuhan
berikan, diantaranya kesulitan dalam menempuh pendidikan karena dengan pahitnya
proses melewati masa sulit itu menjadikan keberhasilan terasa kian manis.
Berikut ceritanya.
“Anak
Miskin dilarang Sekolah” itulah yang aku
rasakan sejak kecil. Ayah meninggal saat aku berusia 7 tahun dan duduk di kelas
3 SD. Kehidupan berbalik begitu saja saat ayah meninggal, karena ia adalah
satu-satunya tulang punggung keluarga. Ibu hanya seorang IRT yang tak lulus SD,
tentu sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Setelah ditinggal
ayah, kehidupan ekonomi kami sangat sulit. Ibu juga bukan seorang yang mengerti
pendidikan sehingga ia tak terlalu bersemangat menyekolahkan aku. Aku terancam
putus sekolah sejak SD, namun nasihat mendiang ayah mengenai pentingnya
pendidikan selalu menjadi motivasi besarku untuk dapat bersekolah
setinggi-tngginya. Aku meyakini, bahwa dengan modal pendidikanlah kelak aku
dapat merubah nasib keluargaku.
Aku
tahu aku tak akan bisa sekolah di SMP karena gaji ibu hanya cukup untuk makan
sehari-hari. Aku menyadarinya dan aku tak ingin menyerah begitu saja. Aku
memilih untuk menjual es lilin dan dagangan tetangga agar mendapat upah yang
bisa ku tabung untuk membayar uang masuk SMP. Alhasil akupun bisa masuk SMP.
Perjuangan tak berhenti di situ, saat aku menginjak kelas 3 SMP, aku kembali
harus berfikir keras untuk melanjutkan sekolahku. Kelulusanpun tiba, aku tak
kunjung melihat peluang untuk sekolah. Aku mengadu kepada Allah. “Mintalah
kepadaku maka akan ku kabulkan” begitu firman-Nya. Allah membukakan jalannya,
ia tak memberikanku segepok uang, namun ia memberikanku sebuah keberanian dan
azzam yang kuat untuk tetap meneruskan mimpiku untuk bersekolah.
Aku
menjual antingku, satu-satunya perhiasan yang kumilki untuk membeli formulir
sekolah. Akupun mengikuti tes masuk dan dinyatakan lolos. Kali ini, masalahnya
lebih besar dari sekedar harga formulir. Kini, aku harus membayar 1,3jt untuk
biaya masuk. Saat itu, 50 ribupun aku tak punya, apalagi sebayak itu. Aku memberanikan
diri untuk menghadap ketua remaja masjid untuk memberikanku uang arisan. Kami
memang punya arisan mingguan, tiap minggunya membayar 5000. Alhamdulillah ketua
dan anggota lainnya setuju agar aku saja yang mendapat giliran menang arisan
minggu ini, karena aku harus segera membayar uang sekolahku. Saat itu jumlahnya
hanya Rp. 650.000. Tentu masih kurang setengahnya. Rejeki tak disangka-sangka,
tetanggaku memberiku uang Rp. 700.000,maka akhirnya aku dapat melunasi tagihan
itu.
Aku
dianggap cukup gila bagi orang-orang di lingkunganku bahkan keluargaku. Tak
banyak orang yang mensupportku kecuali Kakek. Dialah orang yang paling
mempercayai kemampuanku. Sejak Aliyah aku aktif dalam berbagai kegiatan dan
perlombaan. Saat menang lomba, aku selalu menabung karena hal yang sama pasti
akan terjadi saat aku akan kuliah nanti.
Tahun
2010, akupun lulus dari Aliyah. Ibu senang sekali karena tak menyangka aku akan
bisa sekolah sejauh ini. Ia menangis haru dan mengatakan “mulai hari ini ibu
akan selalu mendukungmu, ibu percaya padamu”. Hatiku terenyuh, tak ada hal yang
lebih membahagiakan selain ridho seorang ibu. Bermodalkan ridho Ibu dan
tabungan semasa SMA aku mendaftar kuliah di Jogja. Meski kali ini tantangannya
lebih berdarah-darah dari sebelumnya, aku tetap menjalaninya. Saat tahun awal
perkuliahanku, ibu sering menelponku dengan derai tangis sambil bercerita bahwa
tetangga di kampung sering bergunjing tentang diriku. Aku yang mungkin saja
“melacurkan diri” untuk mengisi perut dan membayar ongkos pendidikanku. Hatiku
benar-benar ngilu, tapi sungguh aku tak akan menyerah.
Kawan untuk sebuah kesuksesan tak
ada yang benar-benar menyenangkan. Kita tentu harus menyiapkan mental sekuat
baja, hati seluas samudera. Kita boleh kesal dengan keadaan yang serba kurang
serta omongan yang sering direndahkan, Tapi, setelah itu kita harus bisa
bangkit dan berusaha perbaiki keadaan dan menjadikannya kekuatan untuk
bertahan.
Saat
kuliah S1 dulu, untuk bisa bertahan hidup dan membayar kuliah aku mengajar
privat, berjualan buku, jadi guru ngaji bahkan menjadi distributor baju dari
Jogja ke Kalimantan. Segala peluang usaha kucoba untuk bertahan hidup dan
Alhamdulillah sesekali bisa mentransfer uang untuk ibu di kampung. Ditengah
kesibukan organisasi dan bekerja aku tetap focus kuliah. Aku selalu mengingat
tujuan utamaku. Selain itu aku selalu bermabisi ingin cepat lulus karena ingin
sesegera mungkin membantu ibu. Alhamdulillah, berkat ridho ibu aku lulus dengan
IPK 3,66 dengan masa studi 3 tahun 4 bulan 29 hari. Tangis haru penuh rasa
syukur saat ibu bisa hadir dan melihat aku wisuda. Ia memelukku haru penuh
bangga. Pengorbanan terbayar sudah.
S1
telah usai, apa perjuangan selanjutnya? Sejak SMA aku ingin sekali bisa kuliah
ke luar negeri. Aku tak menyia-nyiakannya saat negara ku tercinta menyatakan
diri siap memfasilitasi pendidikan anak bangsa lewat beasiswa LPDP. Akupun
mendaftar dan melewati berbagai macam proses seleksinya hingga lulus dan
bertemu dengan manusia luar biasa lainnya di PK 88 “Metamorfosa”. Segala puji
bagi Allah. Perjuangan ini terasa amat manis setelah melewati kerasnya
perjuangan. Tuhan terimakasih telah menjaga semangat juang ini tetap membara.
Perjalanan ke depan masih panjang. Tugasku selanjutnya adalah memastikan bangsa
Indonesia tak keliru menitipkan pundi rupiahnya padaku. Semoga ilmu yang
didapat selama studi menjadi jalan bagiku untuk ikut turun tangan membangun
Indonesia tercinta. Aamiin.
Jika
ada yang bertanya mengapa begitu berambisi S2? Aku ingin menjadi manusia yang
banyak member manfaat. Memangnya S1 tidak banyak memberi manfaat? (pertanyaan
ini sebelumnya sudah ditanyakan oleh interviewer saat wawancara LPDP). Baiklah
akan ku jawab. Aku meyakini sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa “jika kita
ingin member lebih maka kita juga harus memiliki lebih”. Kawan, waktu kita singgah di
dunia ini benar-benar terbatas. Jadilah sesuatu yang baik dan banyak memberi
manfaat. Yuk, kita buat sebuah cerita yang berbeda, sebuah karya yang positif, serta
bermanfaat bagi banyak orang di sekeliling kita.
No comments:
Post a Comment