Wednesday 26 April 2017

Intergrasi Islam dan Multikultural : Upapa Merawat Kemajemukan Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Berbagai keragaman ada dalam tubuh bangsa Indonesia sebagai bentuk negara yang majemuk. Hal ini dapat dilihat pada kondisi sosio-kultural maupun geografis yang beragam. Saat ini jumlah pulau yang ada di wilayah NKRI sekitar 13000 pulau dengan jumlah populasi penduduk lebih dari 200 jiwa , terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Lebih dari itu, mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam , Katolik, Kristen Protestan , Hindu , Budha , Khonghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan . Kemajemukan dan keragaman ini terikat dalam slogan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda namun tetap satu jua.
Keberagaman masyarakat Indonesia memang dapat menjadi berkah karena menghadirkan mozaik kebudayaan yang indah dalam rangkaian Bhineka Tunggal Ika. Akan tetapi, bagai dua sisi mata uang, kepluralan itu dapat membawa efek negatif bila tak disikapi dengan benar. Fenomena ini dapat dilihat pada banyaknya konflik yang muncul karena masalah suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA). Kasus Tolikara, Tanjung Balai, dan Pilkada DKI yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama, misalnya, terkait isu SARA. Meski sejak awal kemerdekaan kita sudah berkomitmen dan menyuarakan Pancasila, masalah kebinekaan atau kini istilahnya multikulturalisme/pluralisme ternyata belum selesai. Pada tahun 2014, Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berekspresi (KBB) Komnas HAM, Jayadi Damanik mencatat 74 pengaduan pada tahun 2014, meningkat menjadi 89 aduan pada 2015, Sedangkan pada 2016 kemarin ada 97 laporan KBB.
Sebagai negara yang multikultural, Indonesia harus antisipatif dan responsif terhadap fenomena heterogenitas kebudayaan dengan sikap arif dan bijak. Faham multikulturalisme menjadi penting untuk difahami karena tanpa adanya pengertian yang baik mengenai keragaman maka kerukunan menjadi sulit diwujudkan. Salah satu agenda penting yang harus dilakukan adalah resosialisasi pemahaman agama yang baik mengenai multikulturalisme, karena sesungguhnya setiap agama memiliki kesamaan ajaran dalam menyikapi perbedaan, yakni toleransi, wabilkushus dalam Islam.
Islam adalah agama non-sentralistik dan nirkekerasan. Dalam situasi konflik komunal yang berkepanjangan inilah, Islam perlu meredefisini kehadirannya dalam konteks keragaman agama dan budaya, sekaligus tampil sebagai agama publik sekaligus agama profetik yang menjanjikan dengan perspektif khas multikulturalis. . Islam perlu memberi nuansa paradigmatik bagi konsktruksi multikulturalisme dalam merajut tenun kebangsaan di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan Islam terhadap multikukturalisme?
2. Apa saja konsep multikulrural yang terdapat di dalam Al-Qur’an?
3. Bagaimana sikap muslim terhadap multikulturalisme?
4. Bagaimana upaya mengimplementasikan nilai-nilai multikulturalisme?

C. Tujuan Penulisan Makalah
Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui bagaiamana Islam memandang multikulturalisme, konsep-konsep multikulturalisme yang terkandung dalam Al-Qur’an, bagaimana sikap muslim terhadap multikulturalisme serta upaya implementasi nilai multikultural.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandangan Islam terhadap Multikulturalisme
Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan masing-masing kebudayannya yang unik. Multikulturalisme juga dapat diartikn sebagai ide atau gagasan yang menghasilkan aliran yang berpandangan bahwa terdapat variasi budaya dalam kehidupan bermasyarakat dan yang terjadi adalah adanya kesetaraan budaya, sehingga antara satu budaya dengan budaya yang lainnya tidak dalam keadaan saling bertarung untuk memenangkan pertarungan.
Pada konteks Indonesia, multikulturalisme dapat difahami sebagai konsep dimana sebuah masyarakat/komunitas dapat mengakui keragaman, perbedaan dan kemajemukan budaya, baik itu ras, suku, etnis dan agama. Sebuah konsep yang yang memberikan pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam (multikultural). Bangsa yang plural adalah bangsa dimana kelompok-kelompok etnik atau budaya yang ada dapat hidup berdampingan secara damai yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain.
Pluralitas sebagai basis multikulturalisme dalam perspektif Islam adalah sunnatullah. Islam sebagai risalah yang universal pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia, termasuk mereka para pengikut agama-agama, menuju satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan (unity of humankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan agama. Pada konteks ini, setidaknya ada 2 perspektif untuk mencermati kaitan antara Islam dan multikulturalisme, yaitu normatif dan historis. 
Perspektif pertama, dapat ditela’ah dari beberapa ayat al-Qur’an al-Karim yang berbicara landasasan normatif tentang multikulturalisme, di antaranya firman Allah swt.:
“Jikalau Tuhan mu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (QS. Hud :118)

Frase “jikalau Tuhan mu mengehndaki” ini dipahami oleh mayoritas ahli tafsir sebagai bentuk pengandaian yang tidak memerlukan jawaban (gaya bahasa retoris). Artinya frase ini tidak memerlukan penegasan lebih lanjut. Oleh karena itu, teks dalam surat Hud ini meniscayakan keragaman (multikulturalisme) .
Pada ayat lain yang lebih populer, Allah telah mengilustrasikan perbedaan-perbedaan yang muncul di sekitar kehidupan manusia, sebagai berikut :
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
(QS. Al-Hujurat : 13).

Selain memaparkan tentang tujuan keberagaman Allah juga mengaskan pada ayat tersebut bahwa ukuran kemuliaan seseorang bukan ditentukan oleh ras, suku, etnis dan hal lainnya melainkan tingkat ketaqwaan individu tersebutlah yang akan mengantarkannya pada derajat yang mulia di sisi Allah. Jelas bahwa tak ada satu pun orang, kelompok, atau bangsa manapun yang dapat perlakuan khusus dari Allah, semuanya diapandang sama, memliki hak yang sama.
Lebih lanjut, realitas multikulturalisme juga diintrodusir dalam sejumlah hadis Nabi SAW, di antaranya khutbah yang disampaikan oleh Nabi SAW pada hari-hari tasyriiq:
“Wahai manusia, camkanlah (oleh kalian): Sesungguhnya Tuhan kalian satu dan moyang kalian juga satu. Camkanlah (oleh kalian): Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab, begitu juga non-Arab atas Arab, tidak pula orang kulit merah atas orang hitam maupun orang hitam atas orang berkulit merah kecuali karena (factor) ketakwaan. Sudahkah aku sampaikan?!” (HR. Ahmad).

Perspektif kedua, dapat dicermati dari sejarah panjang Rasulullah SAW, yang begitu intens membangun Islam dan multikulturalisme melalui prinsip dasar nilai plural dan multikultural di tengah komunitas yang multietnis, ras, budaya dan agama selama 13 tahun di Makkah kemudian hijrah ke Yatsrib yang kemudian berganti nama menjadi Madinah. Kondisi masyarakat yang  multikultural tersebut telah memunculkan inspirasi Rasulullah SAW Untuk mendirikan apa yang kemudian dikenal dengan “Negara Madinah” tertuang dalam “Piagam Madinah”. Piagam Madinah, sebagaimana dikenal dalam sejarah, merupakan suatu piagam atau konstitusi tertulis pertama di dunia yang mengandung nilai-nilai universal: keadilan, kebebasan, persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan sama di mata hukum
Dalam panggung historis, Islam tampil menjadi agama dan peradaban yang senantiasa bersentuhan dengan agama dan peradaban lain. Di sisi lain, Islam berhadapan dengan budaya dan peradaban masyarakat Arab Jahiliyah yang menganut kepercayaan menyembah berhala. Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah dan ajaran Allah berusaha meluruskan dan membenahi akidah masyarakat Arab pada waktu itu dengan tetap menjalin hubungan baik antar mereka. Walaupun dalam perjalanan dakwahnya sering terjadi benturan dengan masyarakat Jahiliyah. Namun secara substansial, benturan dan peperangan itu hanya ditempuh sebagai alternatif terakhir setelah segala jalan damai yang dimpuh mengalami kegagalan. Dengan demikian, dapat dicermati bahwa sebenarnya Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk memusuhi, suku, bangsa, budaya dan agama lain. Bahkan sebaliknya, bahwa Islam memerintahkan manusia untuk menjalin kerjasama dan kontak yang baik terhadap siapapun untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik. 
B. Konsep-konsep Multikulturalisme dalam Al-Qur’an
Islam secara normatif telah menguraikan tentang kesetaraan dalam bermasyarakat yang tidak mendiskriminasikan kelompok lain. Pada tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat multikulturalis dalam pandangan Islam memiliki kedudukan yang sama, tidak ada yang inferior ataupun superior terhadap yang lainnya. Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamiin sarat dengan ajaran yang menghargai dimensi pluralis-multikultural, yang menempatkan harkat dan martabat manusia, baik sebagai individu maupun anggota sosial. Diantara konsep-konsep Islam yang menghargai dimensi pluralis-multikultural adalah :
1. Konsep kesamaan (as-sawiyah) yang memandang manusia pada dasarnya sama derajatnya. Satu-satunya perbedaan kualitatif dan pandangan Islam adalah ketaqwaan. Islam pada esensinya memandang manusia dan kemanusiaan secara sangat positif dan optimis. Menurut Islam, seluruh manusia berasal dari satu asal yang sama, yaitu Nabi Adam dan Hawa. Meskipun nenek moyang yang sama dalam perkembangannya kemudian terpecah menjadi bersuku-suku kaum-kaum dan berbangsa-bangsa lengkap dengan segala kebudayaan dan peradaban khas masing-masing. Semua perbedaan yang ada selanjutnya mendorong mereka untuk saling mengenal dan menumbuhkan apresiasi satu sama lain. Mereka harus tetap saling mendekati, saling menghormati dalam interaksi sosial. (QS. An-nisa : 21 dan Al-Hujurat : 13) inilah yang kemudian oleh Islam dijadikan dasar perspektif kesatuan umat manusia dalam universal yang pada gilirannya akan mendorong solidaritas antar manusia.
Pada waktu melakukan ibadah haji terakhir, Nabi Muhammad SAW membuat pernyataan dengan etika Global :”wahai umat manusia, semua orang berasal dari Adam, sedang Adam dari ekstrak tanah orang Arab tidak lebih mulia daripada non Arab. orang kulit putih tidak lebih mulia daripada orang kulit hitam, kecuali karena kelebihan ketakwaannya.” ( HR. Abu Hurairah ). Kemudian pada suatu saat Nabi Muhammad SAW melihat urusan jenazah, beliau memerintahkan para sahabatnya untuk berdiri sebagai penghormatan. diantara sahabat ada yang memberitahu, bahwa jenazah itu adalah jenazah orang Yahudi. Nabi pun bersabda : “ tapi dia adalah manusia”. (HR. at-Tirmizi). Hal ini membuktikan bahwa Islam tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap seseorang berdasarkan ras, agama, etnis, suku ataupun kebangsaannya, hanya ketakwaan seseorang layang membedakannya di hadapan sang pencipta.
2. Konsep keadilan ( al-’adalah ) yang membongkar budaya nepotisme dan sikap-sikap korupsi, baik dalam politik, ekonomi, hukum hak dan kewajiban, bahkan dalam praktek-praktek keagamaan. Al-Qur'an memerintahkan kita berlaku adil terhadap siapapun (QS. An-Nisa : 258), jangan sampai kebencian terhadap suatu pihak itu mendorong untuk tidak berlaku adil (QS. Al- Maidah : 28) adil harus dilakukan terhadap diri sendiri keluarga kelompok dan juga terhadap lawan.
Diceritakan bahwa sekelompok bangsawan Arab berusaha memperoleh perlakuan istimewa terhadap terpidana dari kalangan mereka, mereka berusaha menggunakan Usamah bin Zaid dalam kurung cucu angkat Nabi Muhammad SAW untuk merayu beliau agar dapat meringankan hukuman terpidana. maka Rasulullah bersabda :
“ Hai Usamah, orang-orang sebelummu dulu menjadi rusak karena mereka itu apabila ada yang mencuri dari lingkungan masyarakat yang lemah tidak berdaya mereka menegakkan hukum potong tangan itu, tapi kalau orang mencuri dari lingkungan masyarakat yang kuat, yang terhormat, mereka membiarkan pencuri bebas dari hukuman. Demi Tuhan yang menguasai aku, Andaikan Fatimah, putri ku sendiri itu mencuri maka saya, Muhammad yang akan memotong tangannya.”

  Ini artinya bahwa Islam mengajarkan untuk menegakkan keadilan kepada siapapun dan dari golongan manapun.
3. Konsep kebebasan / kemerdekaan ( al-Hurriyah ) yang memandang semua manusia pada hakikatnya hanya hamba Tuhan saja, sama sekali bukan sesama manusia. Berangkat dari konsep ini, maka manusia dalam pandangan Islam mempunyai kemerdekaan dalam memilih profesi, memilih wilayah hidup, bahkan dalam menentukan pilihan agama pun tidak dapat dipaksa (QS. Al-Baqarah : 256).
Banyak perilaku Nabi yang memberikan contoh kepada kita dalam menerapkan prinsip prinsip kebebasan. Diantaranya adalah ketika terjadi Fathul Makkah. Nabi dan para pengikutnya tidak melakukan tindakan balas dendam dan tidak boleh memaksa orang-orang kafir Quraisy untuk memeluk agama Islam. Para kepala suku masyarakat Arab di Jazirah Arab berbondong-bondong kepada Nabi dan dengan kesadaran sendiri yang mendalam, mereka menyatakan diri memeluk agama Islam.
Prinsip-prinsip kebebasan beragama ini pulalah yang telah dipraktekkan di Madinah oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau meletakkan dasar-dasar kerukunan hidup antar umat Islam, komunitas Yahudi dan komunitas non-muslim lewat Piagam Madinah yang telah disepakati oleh para wakil dari masing-masing kelompok. Piagam Madinah sebagaimana dikenal dalam sejarah, merupakan suatu piagam politik pertama di dunia yang memuat dasar-dasar toleransi dan kebebasan agama yang dalam ajaran Islam sangat dijunjung tinggi sebagai salah satu hak asasi manusia. Dengan demikian, ide tentang toleransi dan kerukunan hidup antar umat beragama sebenarnya memiliki akar-akar historis yang sangat kuat dalam struktur ajaran Islam dan menemukan bukti-bukti yang jelas dan nyata dalam praktek kehidupan Nabi Muhammad SAW
4. Konsep toleransi ( tasamuh ) yang merupakan sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Bahasa Arab menterjemahkan dengan tasamuh berarti saling mengizinkan saling memudahkan. Dengan demikian, toleransi dapat diartikan memberikan kemerdekaan kepada golongan kecil untuk menganut dan menyatakan pandangan-pandangan politik dan agamanya, memberikan hak-hak istimewa seperti yang diperoleh golongan besar.
Termasuk di dalam toleransi adalah tidak mencela atau mengolok-olok kepercayaan umat lain sebagaimana yang Allah tegaskan dalam Quran Surat Al An'am ayat 108. Melalui ayat tersebut Allah melarang kita mencela Tuhan-Tuhan orang musyrik. Kita dilarang keras mengolok atau sampai merendah-rendahkan Tuhan orang lain karena hal ini akan membuat mereka akan membalas dengan mencela Allah. Tentu termasuk maslahat besar bila kita dapat menahan diri dari mencela Tuhan orang kafir agar tidak berdampak pada permusuhan yang memicu terjadinya konflik. Hal ini adalah peringatan yang tegas agar tidak berbuat seperti itu supaya tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih buruk

C. Sikap muslim terhadap Multikulturalisme
Seorang multikulturalis, menurut Islam, perlu menunjukkan sikap-sikap positif dalam konteks relasi antar manusia. Dalam menghadapi konsekuensi sosial yang ditimbulkan oleh adanya masyarakat multikultural, kita sebagai bangsa Indonesia dapat kiranya meneladani founding father negeri ini yang sedari awal telah meyadari bahwa bangsa ini terdiri dari suku, agama, dan ras yang heterogen sehingga harus ada platform yang bisa mempersatukannya.Ketika tekanan sangat kuat adari wilayah Indonesia Timur mengenai ketidaksetujuan tentang “Piagam Jakarta” yang lebih memeberikan tekanan dan pemihakan pada syariat Islam, maka demi menjaga keutuhan dan persatuan bangsa, maka para kia yang sering dilabeli dengan konsep tradisional justru menjadi pilar dalam penegakan persatuan dan kesatuan bangsa melalui persetujuannya agar “Piagam Jakarta” itu diubah untuk mengayomi semuanya. Oleh karena itu, ketika terdapat sekelompok orang yang akan memaksakan monokulturalitas di tengah kehidupan yang kompleks, maka mereka sesungguhnya terjebak ke dalam kubangan berfikir yang ahistoris.
Sebagai muslim dan berkebangsaan Indonesia kita telah memiliki teladan yang mengagumkan dalam hal menjunjung tinggi nilai-nilai multikulturalisme oleh karenanya, kita pun perlu menunjukkan sikap yang bersifat membangun (konstruktif) demi tercapainya Indonesia yang aman, adil dan sejahtera. Untuk mencapai hal tersebut, Al-Qur’an memberikan tuntunan yang sempurna, yakni :
1. Toleransi (tasamuh), yaitu sikap menghormati terhadap setiap perbedaan baik dalam agama, budaya, suku dan ras serta pandangan-pandangan yang berbeda. Bersikap dewasa dalam merespon keragaman, mendialogkan berbagai pandangan keagamaan dan kultural tanpa diiringi tindakan pemaksaan, sehingga muncul sikap moderat yang menjamin kearifan berpikir dan bertindak, jauh dari fanatisme yang sering melegitimasi kekerasan atas nama agama ataupun kesukuan. 
2. Saling mengenal ( ta’aruf) dan berbuat baik (ikhsan) yaitu kesadaran dan keinginan untuk hidup bersama, hidup berdampingan dengan berbagai keragaman untuk memperluas hubungan sosial yang terwujud dalam sikap bekerjasama, tolong menolong, serta saling berkorban.
3. Berbaik sangka (khusnudzhon), yaitu berfikiran positif dalam bersikap, berhati-hati dalam menilai orang lain/sesuatu dan selalu mengedepankan tabayyun dalam menyelesaikan sebuah masalah. Sikap khusnudzhon ini sangat ditekankan karena tenun kebangsaan takkan terajut sempurna saat masyarakat di dalamnya saling menaruh rasa curiga.
4. Memaafkan ( afw’, maghfirah) yaitu memberi maaf, melupakan semua serangan, kejahatan, perbuatan salah dan dosa yang dilakukan orang lain secara sengaja maupun tidak sengaja. Dalam relasi antarmanusia antar agama, antarkultural, dan antaretnik ketika kelompok dominan memperlakukan minoritas secara menyakitkan, hanya pengampunan yang melampaui siklus kekerasan tanpa akhirlah yang dapat memperbaiki hubungan diantara pihak-pihak yang saling berselisih.

D.  Langkah Implementasi Nilai Multikulturalisme
Islam memandang perbedaan merupakan sunatullah yang ditetapkan Allah bagi sekalian makhluk-Nya, yang dengan perbedaan itulah kehidupan di muka bumi ini dapat berlangsung dengan dinamis dan interaktif. Melalui teks al-quran dan Hadits Islam memberikan penekanan pemahaman bahwa dalam perbedaan yang Allah ciptakan pada manusia itu sebenarnya ditunjukkan untuk menciptakan satu kesatuan dimana manusia akan dapat saling memenuhi kebutuhan dan tujuan hidupnya sehingga tidak terpecah belah apa lagi bermusuhan. Pada hal ini diperlukan upaya bersama agar keharmonisan bangsa Indonesia yang multikultural dapat terus terjaga keeksistensiannya. Diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, memaknai teks atau nash kitab suci beserta konteksnya. Pada hakikatnya nya firman Allah tak begitu saja diturunkan dari langit tanpa ada kejadian dan peristiwa dalam kehidupan masyarakat di bumi yang membutuhkan kehadirannya. Selalu ada sisi historis yang melatarbelakangi turunnya sebuah ayat, yang kita kenal dengan asbabun nuzul. Oleh karena itu memahami firman tidak bisa dilepaskan dari konteks historis nya agar tak berhenti pada teksnya saja. Teks harus diinterpretasikan berdasarkan konteks dari turunnya firman di sinilah sesungguhnya letak peraturan erat antara teks dengan konteks hal itu menjadi bagian dari proses pembebasan dan pengukuhan kemanusiaan universal. Melepaskan teks dari konteks historis nya mengakibatkan kita berhadapan dengan teks yang kosong sehingga tidak sepenuhnya dapat menjelaskan realitas kebenaran yang hendak diungkapkan oleh firman itu sendiri. Memahami firman hanya terbatas pada teks akan melahirkan pemahaman yang kering dan menjebak pada perdebatan linguistik semata-mata dan acapkali menjadi sebuah pemahaman yang salah hingga melahirkan faham-faham radikal.
Kedua, mempopulerkan ayat-ayat yang berbicara tentang inklusivitas, toleransi ukhuwah insaniyah dan ukhuwah wathoniyah. Hal ini dimaksudkan agar dapat mengimbangi popularitas ayat-ayat yang disalah mengerti oleh sebagian masyarakat muslim secara sepihak pemahamannya. Cara ini perlu dilakukan dengan harapan ada pertimbangan di dalam menyampaikan informasi kebenaran kitab suci secara komprehensif dan tidak sepotong-sepotong. Tentu saja cara penyampaiannya bukan seperti perang ayat dan tanding hadits melainkan lebih kepada upaya mengkomunikasikan antar text atau nash yang suci. Selama ini kecenderungan yang muncul adalah menggarisbawahi teks atau nash yang memiliki nuansa eksklusivitas dari pada mempresentasikan secara adil dan seimbang sehingga kesan yang muncul seolah-olah teks atau nash yang suci syarat dengan nilai-nilai anti humanis dan jauh dari sikap toleran. Padahal faktanya adalah teks atau nash dipaksa mengikuti kehendak pengguna yang dimanfaatkan untuk mengintimidasi dan menjastis fikasi pihak lain maksud penjelasan tersebut yakni teks atau nash suci tidak saja pada kalangan Islam tetapi semua agama atau keyakinan mengalami problematika yang sama.
Ketigacross cultural understanding, yakni pemahaman lintas budaya konteks ini memiliki pengertian bahwa pemahaman penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Hal ini meliputi sebuah penilaian terhadap budaya budaya orang lain bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya tersebut melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya yang asli dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri

BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
1. Indonesia memiliki masyarakat multikultural yang menyimpan kemajemukan dan keragaman dalam berbagai hal. Kepluralan tersebut sama sekali tak bertentang dengan ajaran Islam. Dalam berbagai ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi ditegaskan bahwa Islam memandang manusia dengan keadaan yang sama, tak ada yang lebih superior ataupun inferior
2. Islam sebagai agama yang yang rahmatan lil ‘alamiin syarat dengan ajaran-ajaran yang menghargai dimensi pluralis-multikultural. Al- Qur’an mengajarkan konsep kesamaan, keadilan, kebebasan/kemerdekaan, dan toleransi sebagai fondasi utama dalam merajut kehidupan berbagsa yang harmoni.
3. Dalam menghadapi konsekuensi sosial yang ditimbulkan oleh adanya masyarakat multikultural, kita sebagai muslim yang baik harus mengembangkan sikap yang konstruktif demi tercapainya kehidupan yang harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun sikap-sikap yang diajarkan Islam untuk diterapkan adalah sikap toleransi, saling mengenal, berbuat baik, berprasangka baik dan memberi maaf.
4. Dalam mewujudkan kehidupan multikultural Indonesia yang harmoni diperlukan upaya bersama diantaranya dengan memaknai teks atau nash kitab suci beserta konteksnya, mempopulerkan ayat-ayat yang berbicara tentang inklusivitas, toleransi ukhuwah insaniyah dan ukhuwah wathoniyah serta cross cultural understanding, yakni pemahaman lintas budaya.

B. Saran
Sebagai muslim yang hidup dalam bangsa yang majemuk, sudah sepatutnya kita mengamalkan nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang sangat menghargai perbedaan, mereferensikan diri sebagai muslim yang mulia yang menjadi teladan bagi manusia lain di sekelilingnya untuk mewujudkan kehidupan multikultural yang harmoni
Daftar Pustaka


Dermawan, Andy. 2009. Dialektika Islam dan Multikulturalisme di Indonesia : Ikhtiar Mengurai Akar Konflik. Yogyakarta : Kurnia Kalam Semesta


Imarah, Muhammad. 1999. Islam dan Pluralitas : Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan. Jakarta : Gema Insani

Mujiburrahman, 2013. Islam Multikultural : Hikmah, Tujuan dan Keanekaragaman dalam Islam. Addin, Vol.7, No. 1. Solo : IAIN Surakarta

Ismail, Faisal, 2012. Republik Bhineka Tunggal Ika : Mengurai Isu-Isu Konflik, Multukulturalisme, Agama dan Sosial Budaya. Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI

Riswanti, Yulia. 2008. Urgensi Pendidikan Islam dalam Membangun Multikulturalisme. Kependidikan Islam Vol, 3 No 2. Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sa’dan, Masthuriyah. 2015. Nilai-nilai Multikulturalisme dalam Al-Qur’an & Urgensi Sikap Keberagamaan Multikulturalis untuk Masyarakat Indonesia. Toleransi : Media Komunikasi Umat Beragama, Vol.7, No.1. Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Shihab, Alwi, 1998. Islam Inklusif. Bandung : Mizan

Syahril, Sulthan, 2013. Integrasi Islam dan Multikulturalisme : Perspektif Normatif dan Historis.Analisi Vol XIII, No.2. Lampung : IAIN Raden Intan Lampung

Syam , Nur dkk. 2009. Tantangan Multikulturalisme Indonesia. Yogyakarta : Kanisius