Riwayat Hidup Aisyah r.a
Ia memiliki nama lengkap Aisyah binti Abu
Bakar Ash-Shiddiq Ibnu Abi Quhafah Ibn ‘Amr Ibn Ka’ab Ibnu Sa’id Taimi Ibn
Marrah Ibnu Ka’ab Ibn Lu’ay.[1]
Aisyah r.a lahir di Makkah pada tahun 614 M, yaitu sekitar empat atau lima
tahun kenabian.[2]
Ia terkenal dengan nama Aisyah r.a dan dijuluki Ash-Shiddiqah (perempuan
yang benar dan lurus). Ia juga dipanggil Ummul Mukminin dan diberi kunyah
Ummu Abdillah. Selain itu Rasulullah saw juga sering memanggil Aisyah r.a
dengan sebutan “Bintush-Shidiq” (putri Ash-Shiddiq, yakni Abu Bakar).[3]
Ayah Aisyah r.a bernama Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Sahabat yang paling dicintai Nabi dan Khalifah pertama sesudah wafatnya Nabi.
Abu Bakar dikenal dengan sifatnya yang pemurah, berani, jujur dan dermawan. Ia
seorang tokoh Quraisy yang sangat disegani dan dihormati dikalangannya.
Ibu Aisyah r.a bernama Ummu Ruman binti Amir
Al-Kinanah, termasuk wanita-wanita besar dari kalangan sahabat. Sebelumnya Ummu
Ruman sudah pernah menikah. Suami pertamanya meninggal dan darinya dikaruniai
dua anak yang bernama Abdullah dan Asma. Kemudian Ia menikah dengan Abu Bakar dan dikaruniai
dua orang anak yang bernama Aisyah dan Abdurrahman.[4]
Aisyah r.a tumbuh dan berkembang di lingkungan
yang dijiwai oleh kebenaran islam, karena ia terlahir setelah Islam datang.
Ayah dan ibunya termasuk kelompok yang pertama masuk Islam. Aisyah r.a sangat
beruntung karena tidak pernah mendengar suara kekafiran dan kemusyrikan di
rumahnya. Mengenai hal ini Aisyah r.a berkata : “Ketika pertama kali aku
mengenal ayah-ibuku, keduanya telah memeluk Islam”[5]
Masa kecil Aisyah r.a sama seperti anak-anak
lain pada umumnya. Ia suka bermain bersama teman-temannya. Boneka dan ayunan
adalah permainan yang paling ia gemari.[6]
Akan tetapi Aisyah r.a bukan anak kecil biasa. Ia dapat mengingat dengan baik
apa yang terjadi di masa kecilnya, termasuk hadis-hadis yang ia dengar dari
Rasulullah saw, bahkan ia bisa mengingat ayat al-Qur’an yang ia dengar saat ia
masih kecil.[7]
Ketika Rasulullah saw berhijrah ke Madinah,
Aisyah r.a baru berusia delapan tahun. Tapi ia dapat mengingat dengan detail tentang
peristiwa hijrah. Tidak ada seorang sahabat pun yang mampu menjelaskan lebih
detail dari pada penjelasan Aisyah r.a. Hal ini bisa dilihat pada penuturan
Aiyah r.a yang sangat terperinci pada bab Hijrah di Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim.[8]
Rasulullah saw menikahi Aisyah r.a setelah
kepergian Khadijah. Sebelum menikah dengan Aisyah r.a, Rasulullah saw pernah
bermimpi didatangi oleh malaikat yang membawa secarik kain sutra yang berisi
gambar Aisyah r.a. bukhari meriwayatkan kisah itu sebagai berikut :[9]
“Sebelum
munikahimu, aku pernah melihatmu dua kali di dalam mimpi. Aku melihat malaikat
membawa secarik kain yang terbuat dari sutra. Ku katakan kepadanya,
‘singkaplah’. Malaikat itu pun menyingkapnya, dan ternyata kain itu memuat
gambarmu. Lalu ku katakan ‘jika ini merupakan ketetapan Allah, maka Dia pasti
akaan membuatnya terjadi’. Pada kesempatan lain, aku kembali melihatnya datang
membawa secarik kain yang terbuat dari sutra. Maka ku katakan kepadanya,
‘singkaplah’ dan ternyata kain itu memuat gambarmu. Lalu aku berkata ‘jika ini
merupakan ketetapan Allah, maka Dia pasti akaan membuatnya terjadi’.”
Sebelum dipinang oleh Rasulullah saw, Aisyah
r.a sudah bertunangan dengan Jabir bin Mut’im bin Adi. Akan tetapi Allah swt
berkehendak lain. Allah swt telah merencanakan sebuah kebaikan. Dia memilihkan
Aisyah r.a untuk menjadi istri Rasulullah saw.
Aisyah r.a menikah dengan Rasulullah saw pada
usia 6 tahun. Namun Rasulullah saw tidak langsung menggaulinya, karena belum
memberikan mahar padanya.[10]
Ia baru hidup bersma Rasulullah saw pada usia 9 tahun, yakni pada bulan syawal
tahun pertama hijriah, 3 tahun setelah pernikahannya, ketika ummat Islam telah
berhijrah ke Madinah.
Sejak itu Aisyah r.a memulai kehidupan berumah
tangganya bersama Rasulullah saw yang sangat ia cintai. Ia hidup bersama
Rasulullah saw kurang lebih 9 tahun, karena saat Rasulullah saw wafat ia baru
menginjak usia 18 tahun. Aisyah r.a tinggal
bersama dengan Rasulullah saw di sebuah kamar yang sempit di perkampungan Bani
Najjar di sekeliling masjid Nabawi.[11]
Rumah yang jauh dari kata sejahtera dan nyaman apalagi istana yang mewah.
Luas kamar Aisyah r.a kira-kira enam atau
tujuh hasta. Dindingnya terbuat dari tanah liat. Atapnya terbuat dari pelepah
daun kurma. Tidak dapat dipungkiri, kediaman Aisyah r.a bersama Rasulullah saw
memang jauh dari kemewahan duniawi, tapi lewat rumah inilah terpancar sumber
cahaya Ilahi bagi pemiliknya.
Aisyah r.a adalah salah satu orang yang paling
dicintai oleh Rasulullah. Para sahabat megetahui dan mengakui hal itu. Jika
mereka hendak memberikan hadiah kepada Rasulullah saw, maka mereka akan memilih
hari dimana Rasulullah saw sedang bersama Aisyah r.a. Rasulullah saw pernah
ditanya seorang sahabat mengenai siapa orang yang paling beliau cintai. Beliau
menjawab ‘Aisyah r.a’. kemudian sahabat menjelaskan bahwa yang ia maksud adalah
dari kaum laki-laki. Maka Rasulullah saw pun menjawab ‘Ayah Aisyah r.a (Abu
Bakar).[12]
Rasulullah saw mempunyai perhatian lebih dan
memberikan keutamaan kepada Aisyah r.a Rasulullah bersabda :[13]
عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَمَلَ مِنْ الرِّجَالِ كَثِيرٌ وَلَمْ يَكْمُلْ مِنْ النِّسَاءِ إِلَّا مَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ وَآسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ وَفَضْلُ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ
“Dari Abu Musa Al-Aasy’ari dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: Banyak lelaki yang sempurna, tetapi belum ada
wanita yang sempurna kecuali Maryam binti Imran dan Asiyah isteri Fir’aun.
Keutamaan Aisyah atas wanita-wanita lain laksana keutamaan roti atas
makanan-makanan lain”
Rasulullah saw banyak menghabiskan waktunya di
samping Aisyah r.a. di sisi lain Rasulullah saw sering kali menerima wahyu pada
saat bersama Aisyah r.a. ketika menderita sakit Rasulullah saw selalu bertanya
di mana beliau esok hari. Beliau seakan tidak sabar menunggu gilirannya di
rumah Aisyah r.a. maka istri-istri yang lain mengizinkan beliau memilih tempat
beliau akan dirawat di mana pun beliau suka. Rasulullah saw pun memilih dirawat
di rumah Aisyah r.a hingga akhirnya beliau wafat.[14]
Aisyah r.a beruntung karena memperoleh
kehormatan untuk menjadi sahabat sekaligus istri yang paling dekat dengan
Rasulullah saw sejak kecil hingga masa remajanya. Selama kurun waktu kurang
lebih 9 tahun Aisyah r.a menjalani hidup di bawah bimbingan dan asuhan
Rasulullah, seorang Nabi agung yang diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Lewat pendidikan yang ia terima dari
Rasulullah saw, Aisyah r.a mampu mencapai kesempurnaan akhlak. Oleh karena itu
tidak mengherankan jika Aisyah r.a menjadi sosok teladan bagi muslimah sejati.
Ia memiliki sifat zuhud, wara’, taat pada agama, dermawan dan murah hati serta
senantiasa bersikap penuh kasih sayang kepada sesamanya.[15]
Aisyah r.a adalah sosok perempuan yang
qana’ah. Ia menjalani hidup yang miskin dan bersahaja bersama Rasulullah saw.
Meskipun begitu, ia tak pernah mengeluh. Bahkan ketika para istri Nabi yang
lain meminta tambahan jatah pangan pada saat perbendaharaan ummat Islam
dibanjiri oleh harta yang melimpah ruah, Aisyah r.a sama sekali tidak
mengajukan permintaan penambahan nafkah.
Aisyah r.a hidup dalam keadaan zuhud dan
qana’ah. Ia tidak memakai baju maupun perhiasan yang mewah. Makanan yang lezat
atau kehidupan yang nikmat merupakan sesuau yang jauh dari kehidupan Aisyah
r.a. Ia sangat berhati-hati dengan kemewahan duniawi yang melenakan. Itulah
sebabnya Aisyah r.a enggan menerima kiriman hadiah untuk dirinya sendiri, baik
itu berupa pakaian yang indah, mewah dan mahal harganya atau berupa makanan
yang lezat citarasanya. Kehidupan Aisyah r.a yang sederhana terus berlangsug
hingga ia wafat.
Selain sikap zuhudnya yang luar biasa, Aisyah
r.a juga sosok yang sangat terkenal dengan kedermawanannya. Sifat ini ia warisi
dari ayahnya, Abu Bakar. Keluarga Abu Bakar Ash-Shiddiq memang dikenal sebagai
keluarga yang dermawan, seluruh hartanya diberikan untuk kepentingan dakwah
Islam. Di luar itu semua, Aisyah r.a juga beruntung mendapat teladan langsung
dari Rasulullah saw, orang yang sangat peduli pada kaum dhuafa.
Urwah juga megatakan bahwa Muawiyah pernah
mengirim utusan yang membawa 100.000 dirham untuk Aisyah r.a, dan ia bersaksi
demi Allah, tidaklah matahari terbenam pada hari itu kecuali Aisyah r.a telah
membagikan harta itu seluruhnya.[16]
Begitulah sikap dermawan pada diri Aisyah r.a, bahkan sampai ia lupa
menyisihkan untuk dirinya sendiri.
Begitu pula dalam menjaga adab pergaulannya
pun Aisyah r.a sangat berhati-hati. Aisyah r.a sangat memperhatikan hijab,
terutama setelah ayat-ayat tentang hijab diturunkan. Ishaq Al’ama (seorang
laki-laki tunanetra) pernah berkata:[17]
“Aku mengunjungi Aisyah r.a dan aku mendengar ia
memasang hijabnya yang memisahkan kami. Aku pun heran dan bertanya kepadanya,
‘Mengapa engkau memasan hijab dariku, padahal aku tidak bisa melihatmu?’.
Aisyah menjawab keheranan ku hingga aku memahaminya, ‘Kalaupun engkau tidak bisa
melihatku, tetapi aku bisa melihatmu. Jadi, harus ada hijab di antara kita.’
”
Adapun dalam hal ibadah, ketekunan dan
kekhusyuan Aisyah r.a banyak dipengaruhi oleh ibadah yang dilakukan oleh
Rasulullah saw, karena Aisyah r.a adalah orang yang paling dekat dengan beliau.
Aisyah r.a lah yang banyak membawakan hadis-hadis yang disampaikan kepada orang
banyak dengan cara yang mat sempurna, cermat serta jelas, utamanya
bekenandengan ibadah Nabi yang khas, sampai kepada hal-hal yang sangat detail.[18]
Aisyah r.a melaksanakan ibadah, termasuk
ibadah-ibadah sunnah secara konsisten dan terus menerus. Ia tidak pernah
meninggalkan sholat tahajud. Jika ia tertidur atau lupa sehingga tidak
melaksanakan sholat malam, maka ia akan melaksanakannya sebleum sholat subuh.
Aisyah r.a juga menganjurkan kepada setiap orang agar melakukannya pada setiap
malam secara istiqomah.
Aisyah r.a juga sangat gemar melakukan puasa
sunnah secara beuntun.[19]
Ia melalui sebagian besar harinya dengan berpuasa. Bahkan ketika kondisinya
sangat lemah sampai harus disiram air, ia tetap tidak bergeming untuk
membatalkan puasanya.[20]
Adapun untuk pelaksanaan ibadah haji, Aisyah r.a selalu mengerjakannya setiap
tahun. Tidak terhitung berapa kali ia menunaikan ibadah haji dan umrah. Aisyah
r.a pernah melakukan haji bersama Rasulullah saw pada waktu haji wada’.
Aisyah r.a sangat bijak dan prihatin dalam
mengatur kehidupannya. Ia selalu menjaga agar hidupnya berlangsung seperti dan
dalam suasana semasa Rasulullah saw masih hidup di sampingnya. Hal tersebut
tetap berlaku hingga Aisyah r.a menyusul kepergian Rasulullah saw.
Aisyah r.a wafat pada bulan Ramadhan tahun 58
H. Namun ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa Aisyah r.a wafat pada tahun
57 H. Sebelum wafat Aisyah r.a berpesan agar ia dikuburkan pada malam hari. Ia
juga berwasiat agar dirinya tidak dikuburkan bersama Rasulullah saw, Abu Bakar
dan Umar di kamarnya. Ia ingin dikuburkan di Baqi’ bersama sahabat-sahabatnya,
karena ia merasa tidak layak sama sekali untuk mendapatkan kehormatan itu.[21]
Aisyah r.a ummul mukminin wafat pada malam
selasa tanggal 17 Ramadhan, dalam usia 66 tahun.[22]
Pada waktu itu Abu Hurairah sedang menjabat sebagai gubernur sementara kota
Madinah. Ia pun mengimami sholat jenazah. Kemudian jenazah Aisyah r.a
dikebumikan di Baqi’ sesuai dengan wasiatnya. Kaum muslimin turut serta
mengantarkan jenazahnya sampai ke pemakaman.
Pada malam Aisyah r.a wafat, para perempuan
berkumpul di Baqi’, seakan-akan malam itu adalah hari raya. Tidak pernah ada
orang berkumpul sebanyak itu pada suatu malam kecuali pada malam wafatnya
Aisyah r.a. salah satu lentera ilmu telah padam untuk selamanya. Semua orang
tenggelam dalam kesedihan seakan-akan mereka kehilangan ibu kandungnya sendiri.
[1] Muhammad Ibnu
Sa’ad Ibn Mani al-Hasyimi al-Basri, Thabaqat al_kubra, Juz. VIII
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), hal. 46.
[2]Abdul Hamid
Thamhaz, Sayyyidah Aisyah Ibu dan Pemimpin Wanita Muslimah,(Jakarta:
Pustaka ‘Arafah, 2001), hal. 20.
[3] Sulaiman
An-Nadawi, Aisyah The True Beauty, (Jakarta: Pena, 2007), hal. 3.
[4]Muhmmad Ali
Quthb, 36 Perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW, (Bandung: Mizania,
2010), hal. 51.
[5]Sulaiman
An-Nadawi, Aisyah..., hal. 7.
[6] Ibid,
hal. 9.
[7] HR. Bukhari
No.4609 dalam Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist
[8] Sulaiman
An-Nadawi, Aisyah..., hal. 10.
[9] HR. Bukhari
No.6495 dalam Kitab 9 Imam Hadist (Jakarta: Lidwa Pusaka i-Software, 2010).
[10]Abdul Aziz
Asy-Syinnawi, 12 Wanita Pejuang bersama Rasulullah” (Jakarta: Amzah,
2006) hal. 54.
[11] Sulaiman
An-Nadawi, Aisyah..., hal. 43.
[14] Sulaiman
An-Nadawi, Aisyah..., hal. 53.
[15] Ibid,
hal. 245.
[16] Nurul ‘Aina, Belahan
Jiwa Muhammad saw,( Bandung: Arkan Publishing, 2008), hal. 89.
[17] Ibid, hal. 88.
[18] Abdul Hamid
Thamhaz, Sayyyidah..., hal. 215.
[19] Ibid, hal. 217.
[20] Sulaiman
An-Nadawi, Aisyah..., hal. 60.
[21] Ibid,
hal. 236.
[22]Abdul Hamid
Thamhaz, Sayyyidah..., hal. 209.
No comments:
Post a Comment