TRADISI MERARI’: AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL[1]
Oleh:
Muhammad Harfin Zuhdi, MA
Prolog
Islam
secara teologis, merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiyah dan
transenden. Sedangkan dari aspek sosiologis, Islam merupakan fenomena
peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Dialektika
Islam dengan realitas kehidupan sejatinya merupakan realitas yang terus menerus
menyertai agama ini sepanjang sejarahnya. Sejak awal kelahirannya, Islam tumbuh
dan berkembang dalam suatu kondisi yang tidak hampa budaya. Realitas kehidupan
ini –diakui atau tidak—memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengantarkan
Islam menuju perkembangannya yang aktual sehingga sampai pada suatu peradaban
yang mewakili dan diakui okeh masyarakat dunia.
Aktualisasi
Islam dalam lintasan sejarah telah menjadikan Islam tidak dapat dilepaskan dari
aspek lokalitas, mulai dari budaya Arab, Persi, Turki, India sampai Melayu.
Masing-masing dengan karakteristiknya sendiri, tapi sekaligus mencerminkan
nilai-nilai ketauhidan sebagai suatu unity sebagai benang merah yang
mengikat secara kokoh satu sama lain. Islam sejarah yang beragam tapi satu ini
merupakan penerjemahan Islam universal ke dalam realitas kehidupan umat
manusia.
Relasi
antara Islam sebagai agama dengan adat dan budaya lokal sangat jelas
dalam kajian antropologi agama. Dalam perspektif ini diyakini, bahwa agama
merupakan penjelmaan dari sistem budaya.[2] Berdasarkan teori ini, Islam sebagai agama
samawi dianggap merupakan penjelmaan dari sistem budaya suatu masyarakat
Muslim. Tesis ini kemudian dikembangkan pada aspek-aspek ajaran Islam, termasuk
aspek hukumnya. Para pakar antropologi dan sosiologi mendekati hukum Islam
sebagai sebuah institusi kebudayaan Muslim. Pada konteks sekarang, pengkajian
hukum dengan pendekatan sosiologis dan antrologis sudah dikembangkan oleh para
ahli hukum Islam yang peduli terhadap nasib syari’ah. Dalam pandangan mereka,
jika syari’ah tidak didekati secara sosio-historis, maka yang terjadi adalah
pembakuan terhadap norma syariah yang sejatinya bersifat dinamis dan
mengakomodasi perubahan masyarakat.[3]
Islam
sebagai agama, kebudayaan dan peradaban besar dunia sudah sejak awal masuk ke
Indonesia pada abad ke-7 dan terus berkembang hingga kini. Ia telah memberi
sumbangsih terhadap keanekaragaman kebudayaan nusantara. Islam tidak saja hadir
dalam tradisi agung [great tradition] bahkan memperkaya pluralitas
dengan islamisasi kebudaya andan pribumisasi Islam yang pada gilirannya banyak
melahirkan tradisi-tardisi kecil [little tradition] Islam. Berbagai warna
Islam –-dari Aceh, Melayu, Jawa, Sunda, Sasak, Bugis, dan lainnya—riuh rendah
memberi corak tertentu keragaman, yang akibatnya dapat berwajah ambigu.
Ambiguitas atau juga disebut ambivalensi adalah fungsi agama yang sudah
diterima secara umum dari sudut pandang sosiologis.
Perkawinan
merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan suku Sasak. Seseorang baru
dianggap sebagai warga penuh dari suatu masyarakat apabila ia telah
berkeluarga. Dengan demikian ia akan memperoleh hak-hak dan kewajiban baik
sebagai warga kelompok kerabat atau pun sebagai warga masyarakat. Sebagaimana
perkawinan menurut Islam dikonsepsikan sebagai jalan mendapatkan kehidupan
berpasang-pasangan, tenteram dan damai (mawaddah wa rahmat) sekaligus
sebagai sarana pelanjutan generasi (mendapatkan keturunan), maka perkawinan
bagi masyarakat Sasak juga memiliki makna yang sangat luas, bahkan menurut
orang Sasak, perkawinan bukan hanya mempersatukan seorang laki-laki dengan
seorang perempuan saja, tetapi sekaligus mengandung arti untuk mempersatukan
hubungan dua keluarga besar, yaitu kerabat pihak laki-laki dan kerabat pihak
perempuan.
Berdasarkan
tujuan besar tersebut, maka terdapat tiga macam perkawinan dalam masyarakat
suku Sasak Lombok, yaitu: (1) perkawinan antara seorang pria dengan seorang
perempuan dalam satu kadang waris yang disebut perkawinan betempuh
pisa’ (misan dengan misan/cross cousin); (2) perkawinan antara pria
dan perempuan yang mempunyai hubungan kadang jari (ikatan keluarga)
disebut perkawinan sambung uwat benang (untuk memperkuat hubungan
kekeluargaan); dan (3) perkawinan antara pihak laki-laki dan perempuan yang
tidak ada hubungan perkadangan (kekerabatan) disebut perkawinan pegaluh gumi
(memperluas daerah/wilayah).[4] Dengan demikian, maka semakin jelas bahwa tujuan perkawinan
menurut adat Sasak adalah untuk melanjutkan keturunan (penerus generasi),
memperkokoh ikatan kekerabatan dan memperluas hubungan kekeluargaan.
Selanjutnya,
apabila membahas perkawinan suku Sasak, tidak bisa tidak membicarakan merari’,
yaitu melarikan anak gadis untuk dijadikan istri. Merari’ sebagai ritual
memulai perkawinan merupakan fenomena yang sangat unik, dan mungkin hanya dapat
ditemui di masyarakat Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Begitu mendarah
dagingnya tradisi ini dalam masyarakat, sehingga apabila ada orang yang ingin
mengetahui status pernikahan seseorang, orang tersebut cukup bertanya apakah
yang bersangkutan telah merari’ atau belum. Oleh karenanya tepat jika
dikatakan bahwa merari’ merupakan hal yang sangat penting dalam
perkawinan Sasak. Bahkan, meminta anak perempuan secara langsung kepada ayahnya
untuk dinikahi tidak ada bedanya dengan meminta seekor ayam.
Merariq dan Latar Sejarah Tradsinya
Dalam
adat Sasak pernikahan sering disebut dengan merari’. Secara etimologis
kata merari’ diambil dari kata “lari”, berlari. Merari’an berarti
melai’ang artinya melarikan. Kawin lari, adalah sistem adat penikahan yang
masih diterapkan di Lombok. Kawin lari dalam bahasa Sasak disebut merari’.[5]
Secara
terminologis, merari’ mengandung dua arti. Pertama, lari. Ini adalah
arti yang sebenarnya. Kedua, keseluruhan pelaksanaan perkawinan menurut adat
Sasak. Pelarian merupakan tindakan nyata untuk membebaskan gadis dari ikatan
orang tua serta keluarganya.[6]
Berdasarkan
informasi dari nara sumber tentang sejarah munculnya tradisi kawin lari (merari’)
di pulau Lombok, paling tidak ada dua pandangan yang mengemuka, yaitu: Pertama,
orisinalitas merari’. Kawin lari (merari’) dianggap sebagai
budaya produk lokal dan merupakan ritual asli (genuine) dan leluhur
masyarakat Sasak yang sudah dipraktikkan oleh masyarakat-sebelum datangnya
kolonial Bali maupun kolonial Belanda. Pendapat ini didukung oleh sebagian
masyarakat Sasak yang dipelopori oleh tokoh tokoh adat, di antaranya adalah
H.Lalu Azhar, mantan wagub NTB dan kini ketua Masyarakat Adat Sasak (MAS); dan
peneliti Belanda, Nieuwenhuyzen mendukung pandangan ini. Menurut Nieuwenhuyzen,
sebagaimana dikutip Tim Depdikbud, banyak adat Sasak yang memiliki persamaan
dengan adat suku Bali, tetapi kebiasaan atau adat, khususnya perkawinan Sasak,
adalah adat Sasak yang sebenarnya.[7]
Kedua, akulturasi merari’. Kawin
lari (merari’) dianggap budaya produk impor dan bukan asli (ungenuine)
dari leluhur masyarakat Sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum
datangnya kolonial Bali. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak
dan dipelopori oleh tokoh agama, Pada tahun 1955 di Bengkel Lombok Barat,Tuan
Guru Haji Saleh Hambali menghapus, kawin lari (merari’) karena dianggap
manifestasi hinduisme Bali dan tidak sesuai dengan Islam. Hal yang sama dapat
dijumpai di desa yang menjadi basis kegiatan Islam di Lombok, seperti Pancor,
Kelayu, dan lain-lain. Menurut John Ryan Bartholomew, praktik kawin lari dipinjam
dari budaya Bali. Analisis antropologis historis yang dilakukan Clifford Geertz
dalam bukunya Internal Convention in Bali (1973), Hildred Geertz dalam,
tulisannya An Anthropology of Religion and Magic (1975), dan James Boon
dalam bukunya, The Anthropological Romance of Bali (1977), seperti
dikutip Bartolomew,[8] memperkuat pandangan akulturasi budaya Bali dan Lombok
dalam merari’. Solichin Salam menegaskan bahwa praktik kawin lari di
Lombok merupakan pengaruh dari tradisi kasta dalam budaya Hindu Bali.
Berdasarkan kedua argumen tentang sejarah kawin lari (merari’) di atas,
tampak bahwa paham akulturasi merari’ memiliki tingkat akurasi lebih
valid.
Dalam
konteks ini penulis lebih condong kepada pendapat kedua, yakni merari’
ini dilatarbelakangi oleh pengaruh adat hindu-Bali. Sebagai bagian dari
rekayasa sosial budaya hindu-Bali terhadap suku Sasak, dalam suku Sasak dikenal
adanya strata sosial yang disebut triwangsa. Strata sosial ini sudah jelas sama
dengan pola hindu-Bali.
Tradisi
merari’ ini merupakan bagian dari kebudayaan. Kebudayaan dan kehidupan
sosial masyarakat Lombok tidak bisa lepas dari dikotomi kebudayaan nusantara.
Ada dua aliran utama yang mempengaruhi kebudayaan nusantara, yaitu tradisi
kebudayaan Jawa yang dipengaruhl oleh filsafat Hindu-Budha dan tradisi
kebudayaan Islam. Kedua aliran kebudayaan itu Nampak jelas pada kebudayaan
orang Lombok. Golongan pertama, di pusat-pusat kota Mataram dan Cakranegara,
terdapat masyarakat orang Bali, penganut ajaran Hindu-Bali sebagai sinkretis
Hindu-Budha.[9] Golongan kedua, sebagian besar dari penduduk Lombok,
beragama Islam dan peri-kehidupan serta tatanan sosial budayanya dipengaruhi
oleh agama tersebut. Mereka sebagian besar adalah orang Sasak.[10]
Merari’ sebagai sebuah tradisi yang biasa
berlaku pada suku Sasak di Lombok ini memiliki logika tersendiri yang unik.
Bagi masyarkat Sasak, merari’ berarti mempertahankan harga diri dan
menggambarkan sikap kejantanan seorang pria Sasak, karena ia berhasil mengambil
[melarikan] seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada isi lain, bagi orang
tua gadis yang dilarikan juga cenderung enggan, kalau tidak dikatakan gengsi,
untuk memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara biasa [konvensional],
karena mereka beranggapan bahwa anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga,
jika diminta secara biasa, maka dianggap seperti meminta barang yang tidak
berharga. Ada ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m
ngendeng anak manok baen [seperti meminta anak ayam saja]. Jadi dalam
konteks ini, merari’ dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan
prosesi pernikahan, di samping cara untuk keluar dari konflik.[11]
Prinsip
Dasar Tradisi Merari’
Bedasarkan
penelitian M. Nur Yasin setidaknya ada empat prinsip dasar yang terkandung
dalam praktik kawin lari (merari) di pulau Lombok.[12] Pertama, prestise keluarga perempuan.
Kawin lari (merari’) dipahami dan diyakini sebagai bentuk kehormatan
atas harkat dan martabat keluarga perempuan. Atas dasar keyakinan ini, seorang
gadis yang dilarikan sama sekali tidak dianggap sebagai sebuah wanprestasi
(pelanggaran sepihak) oleh keluarga lelaki atas keluarga perempuan, tetapi
justru dianggap sebagai prestasi keluarga perempuan. Seorang gadis yang
dilarikan merasa dianggap memiliki keistimewaan tertentu, sehingga menarik hati
lelaki. Ada anggapan yang mengakar kuat dalam struktur memori dan mental
masyarakat tertentu di Lombok bahwa dengan dilarikan berarti anak gadisnya
memiliki nilai tawar ekonomis yang tinggi. Konsekuensinya, keluarga perempuan
merasa terhina. jika perkawinan gadisnya tidak dengan kawin lari (merari’).
Kedua, superioritas, lelaki, inferioritas
perempuan. Satu hal yang tak bisa dihindarkan dari sebuah kawin lari (merari’)
adalah seseorang lelaki tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan
kondisi sosial psikologis calon istri.Terlepas apakah dilakukan atas dasar suka
sama suka dan telah direncanakan sebelumnya maupun belum direncana-kan
sebelumnya, kawin lari (merari’) tetap memberikan legitimasi yang kuat
atas superioritas lelaki. Pada sisi lain menggambarkan sikap inferioritas,
yakni ketidakberdayaan kaum perempuan atas segala tindakan yang dialaminya.
Kesemarakan kawin lari (merari’) memperoleh kontribusi yang besar dari
sikap sikap yang muncul dari kaum perempuan berupa rasa pasrah atau,bahkan
menikmati suasana inferioritas tersebut.
Ketiga, egalitarianisme.Terjadinya kawin
lari (merari’) menimbulkan rasa kebersamaan (egalitarian) di kalangan
seluruh keluarga perempuan. Tidak hanya bapak, ibu, kakak, dan adik sang gadis,
tetapi paman, bibi, dan seluruh sanak saudara dan handai taulan ikut terdorong
sentimen keluarganya untuk ikut menuntaskan keberlanjutan kawin lari (merari’).
Kebersamaan melibatkan komunitas besar masyarakat di lingkungan setempat.
Proses penuntasan kawin lari (merari’) tidak selalu berakhir dengan
dilakukannya pernikahan, melainkan adakalanya berakhir dengan tidak terjadi
pernikahan, karena tidak ada kesepakatan antara pihak keluarga calon suami
dengan keluarga calon istri. Berbagai ritual, seperti mesejah, mbaitwah,
sorongserah, dan sebagainya merupakan bukti konkrit kuatnya kebersamaan di
antara keluarga dan komponen masyarakat.
Keempat, komersial. Terjadinya kawin lari
hampir selalu berlanjut ke proses tawar menawar pisuke. Proses nego
berkaitan dengan besaran pisuke yang biasanya dilakukan dalam acara
mbait wall sangat kenta! dengan nuansa bisnis. Apapun alasannya,
pertimbangan-pertimbangan dari aspek ekonomi yang paling kuat dan dominan
sepanjang acara mbait wali. Ada indikasi kuatbahwa seorang wah merasa telah
membesarkan anakgadisnya sejak kecil hingga dewasa. Untuk semua usaha tersebut
telah menghabiskan dana yang tidak sedikit. Sebagai akibatnya muncul sikap dari
orang tua yang ingin agar biaya membesarkan anak gadisnya tersebut memperoleh
ganti dari calon menantunya. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat
sosial anak dan orang tua semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis.
Sebaliknya, semakin rendah tingkat sosial dan tingkat pendidikan anak serta
orang tua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan.
Komersialisasi
kawin lari tampak kuat dan tertuntut untuk selalu dilaksanakan apabila suami
istri yang menikah sama sama berasal dari suku Sasak. Jika salah satu di antara
calon suami istri berasal dari luar suku Sasak, ada kecenderungan bahwa
tuntutan dilaksanakannya komersialisasi agak melemah. Hal ini terjadi karena
ternyata ada dialog peradaban, adat, dan budaya antara nilai nilai yang
dipegangi masyarakat Sasak dengan nilai nilai yang dipegangi oleh masyarakat
luar Sasak. Kontak dialogis budaya dan peradaban yang kemudian menghasilkan
kompromi tersebut sama sekali tidak menggambarkan inferioritas budaya Sasak,
tetapi justru sebaliknya, budaya dan peradaban Sasak memiliki kesiapan untuk
berdampingan dengan budaya dan peradaban luar Sasak. Sikap ini menunjukkan
adanya keterbukaan masyarakat Sasak bahwa mulai kebaikan dan kebenaran dari
manapun asal dan datangnya bisa dipahami dan bahkan diimplementasikan oleh
masyarakat Sasak.
Sisi
Positif Tradisi Merari’
Sikap
“heroik” (kepahlawanan) merupakan salah satu alasan mengapa tradisi melarikan
(melaian) dipertahankan dalam perkawinan dengan kekuatan adat di Lombok. Sikap
demikian menurut masyarakat Lombok merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan
apabila berkeinginan untuk membina rumah tangga dengan calon mempelai perempuan
yang sudah diidam-idamkan. Dari sisi spirit “heroisme” tersebut sesungguhnya
memiliki relevansi yang sangat erat dengan ajaran Islam. Islam senantiasa
mengajarkan agar dua pihak yang ingin menikah hendaklah didasari oleh perasaan
yang kuat untuk saling memiliki. Hanya saja perasaan tersebut tidak harus ditunjukkan
dengan cara melarikan gadis sebagai calon isteri. Bandingkan dengan beberapa
ayat atau hadis yang berkaitan dengan anjuran menikah.
Dalam
sebuah hadis disebutkan bahwa: “Manistatha’a min kum al-ba’at fa
al-yatazawwaj” (Barang siapa yang telah mampu untuk menunai-kan nafkah
kepada calon isterinya, maka hendaklah menikah).[13] Mampu di sini diartikan mampu lahir maupun bathin, maka
hendaklah mengajak calon isterinya menikah dengan cara yang diajarkan oleh
Islam, yakni calon mempelai perempuan). Dalam Qs. al-Nisa (4): 4 disebutkan
bahwa: ”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” Ayat ini dapat pula dianggap sebagai
tanda kesiapan seorang calon suami untuk menikahi seorang perempuan. Sekali
lagi kesiapan atau keberanian untuk menikah daiam Islam harus dilakukan dengan sikap
yang mencerminkan kesiapan mental maupun material, bukan sikap berani melarikan
anak perempuan orang lain hanya karena merasa mampu melarikan perempuan tanpa
sepengetahuan keluarganya.
Tradisi
adat Sasak Lombok ini sebenarnya sudah banyak yang paralel dengan ajaran Islam,
seperti soal pisuke dan nyongkolan. Pisuke sesuai dengan namanya tidak
boleh ada unsur pemaksaan, tetapi harus ada kerelaan keluarga kedua belah
pihak. Demikian juga.acara nyongkolan merupakan sarana pengumuman dan
silaturrahmi sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. Hanya saja
dalam kasus tertentu terjadi penyelewenagn oleh oknum pada acara
nyongkolan yang menyebabkan terjadinya perkelaian, mabuk-mabukan dengan
minuman keras dan meninggalkan sholat, maka perilaku inilah yang perlu
dihindari dalam praktek nyongkolan. Singkatnya, orang Sasak lah yang banyak
melanggar aturan/adat Sasak itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari substansi
buku yang ditulis oleh Gde Suparman.[14]
Saat
ini ada beberapa parktek adat yang telah mengalami metamorfosa dan perubahan
paradigma di masyarakat Sasak tentang perspektif merari’ ini setelah mendalami
ajaran agama Islam dan fenomena perkawinan adat lain di Indonesia seperti yang
terjadi di Jawa dan Pulau Sumbawa. Perubahan ini memang tidak bisa secara
sekaligus, tetapi secara bertahap, dan dimulai oleh warga Sasak yang
berpendidikan dan memiliki pengalaman di daerah lain.
Sisi Negatif Tradisi Merari’
Dalam
banyak aspek (ranah) kehidupan.ternyata perempuan Sasak masih sangat marginal (inferior),
sementara kaum laki-lakinya sangat superior. Marginalisasi perempuan dan
superioritas laki-laki memang merupakan persoalan lama dan termasuk bagian dari
peninggalan sejarah masa lalu. Sejak lahir perempuan Sasak mulai
disubordinatkan sebagai orang yang disiapkan menjadi isteri calon suaminya
kelak dengan anggapan “ja’ne lalo/ja’ne tebait si’ semamenne” (suatu
saat akan meninggalkan orang tua diambil dan dimiliki suaminya). Sementara,
kelahiran seorang anak laki-laki pertama biasanya lebih disukai dan dikenal
dengan istilah “anak prangge” (anak pewaris tahta orang tuanya).[15]
Begitu
juga tradisi perkawinan Sasak, seakan-akan memposisikan perempuan sebagai
barang dagangan. Hal ini terlihat dari awal proses perkawinan, yaitu dengan
dilarikannya seorang perempuan yang dilanjutkan dengan adanya tawar menawar
uang pisuke (jaminan).
Menurut
penuturan Muslihun Muslim,[16] dosen IAIN Mataram, terdapat 9 bentuk superioritas suami
sebagai dampak dari tradisi perkawinan adat Sasak (merari’) sebagai
berikut: (1) terjadinya perilaku atau sikap yang otoriter oleh suami dalam
menentukan keputusan keluarga; (2) terbaginya pekerjaan domestik hanya bagi
isteri dan dianggap tabu jika lelaki (suami) Sasak mengerjakan tugas-tugas
domestik; (3) perempuan karier juga tetap diharuskan dapat mengerjakan tugas
domestik di samping tugas atau pekerjaannya di luar rumah dalam memenuhi
ekonomi keluarga (double faurden/peran ganda); (4) terjadinya praktek
kawin-cerai yang sangat akut dan dalam kuantitas yang cukup besar di Lombok;
(5) terjadinya peluang berpoligami yang lebih besar bagi laki-laki (suami)
Sasak dibandingkan lelaki (suami) dari etnis lain; (6) kalau terjadi perkawinan
lelaki jajar karang dengan perempuan bangsawan, anaknya tidak boleh menggunakan
gelar kebangsawanan (mengikuti garis ayah), tetapi jika terjadi sebaliknya,
anak berhak menyandang gelar kebangsawanan ayahnya[17]; (7) nilai perkawinan menjadi ternodai jika dikaitkan
dengan pelunasan uang pisuke; (8) kalau terjadi perceraian, maka
isterilah yang biasanya menyingkir dari rumah tanpa menikmati nafkah selama
‘iddah, kecuali dalam perkawinan nyerah hukum atau nyerah mayung sebungkul;
(9) jarang dikenal ada pembagian harta bersama, harta biasanya diidentikkan
sebagai harta ayah (suami) jika ada harta warisan, sehingga betapa banyak
perempuan (mantan isteri) di Sasak yang hidup dari belaian nafkah anaknya
karena dianggap sudah tidak memiliki kekayaan lagi.
Epilog
Sejarah
suku Sasak Lombok ditandai dengan silih bergantinya berbagai dominasi kekuasaan
di pulau Lombok dan masuknya pengaruh budaya lain membawa dampak semakin kaya
dan beragamnya khazanah kebudayaan Sasak. Hal ini sebagai bentuk dari pertemuan
(difusi, akulturasi, inkulturasi) kebudayaan. Oleh karenanya tidak berlebihan,
jika Lombok dikatakan sebagai potret sebuah mozaik. Ada banyak warna budaya dan
nilai menyeruak di masyarakatnya. Mozaik ini terjadi antara lain karena Lombok
masa lalu adalah merupakan objek perebutan dominasi berbagai budaya dan nilai.
Dalam konteks ini paling tidak ada empat budaya yang paling signifikan
mendominasi dan mempengaruhi perkembangan dinamika pulau ini, yaitu: 1)
pengaruh Hindu Jawa; 2) pengaruh Hindu Bali; 3) pengaruh Islam; dan 4) pengaruh
kolonialisme Belanda dan Jepang.
Konversi
orang ke dalam Islam sangat berkaitan erat dengan kenyataan adanya penaklukan
dari kekuatan luar. Berbagai kekuatan asing yang menaklukkan Lombok selama
berabad-abad sangat menentukan cara orang Sasak menyerap pengaruh-pengaruh luar
tersebut.[18] Lebih lanjut, dalam konteks masyarakat Sasak Lombok, Islam
merupakan rujukan utama dan lensa ideologis dalam memahami dan mengevaluasi
perubahan. Islam mempunyai peranan yang sangat penting dalam menghadapi
perubahan, dan akulturasi budaya dalam kehidupan sosial mereka.
Demikianlah
merari’ dengan pernak pernik budaya akulturasinya telah memberi warna
parokialitas pada tradisi masyarakat Sasak Lombok. Lebih jauh, akulturasi Islam
dan budaya diharapkan mampu melakukan secara simultan langkah invensi dan
inovasi sebagai upaya kreatif untuk menemukan, merekonsiliasi, dan
mengkomunikasikan serta menghasilkan konstruksi-konstruksi baru. Konstruksi
tersebut tidak harus merupakan pembaruan secara total atau kembali ke tradisi
leluhur masa lalu secara total pula, namun pembaruan yang dimaksud di sini
adalah pembaruan terbatas sesuai dengan prinsip al-âdah muhakkamah.
Jadi, sebuah invensi dalam konteks pribumisasi Islam tidak dimaksudkan
menemukan tradisi atau autentisitas secara literal, melainkan bagaimana
tradisi-tradisi lokal itu menjadi sesuatu yang dapat berdialektika dan
dimodifikasi ulang sesuai dengan konteks dimensi ruang dan waktu sesuai
dengan kaidah taghayyur al-ahkâm bi at-taghayyur
al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwâl. Pribumisasi Islam, dengan
demikian merupakan proses yang tidak pernah berhenti mengupayakan berkurangnya
ketegangan antara norma agama dan manifestasi budaya. Semoga. Wallâhu
a’lam bi ash-shawâb.[]
[1] Makalah diskusi minggu sore di sesangkok komunitas IMSAK
Jakarta, 9 Jan’ 2011
[2]Bassam Tibbi, Islam and Cultutral Accommodation of Social
Change , [San Francisco: Westview Pres, 1991], h. 1
[3] Aziz al- Azmeh [ed.], Islamic Law: Social and Historical
Contexts, [tp., 1988], h. viii
[4] Wawancara dengan Lalu Gde Suparman, Budayawan Sasak di
Mataram tanggal 17 Maret 2004; hal senada juga dikatakan oleh nara sumber lain,
seperti Lalu Agus Fathurrahman.
[5]Solichin Salam, Lombok Pulau Perawan: Sejaroh dan Masa
Depannya (Jakarta: Kuning Mas, 1992), h. 22
[6]Tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan
Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Barat (Jakarta: Depdikbud, 1995),
h. 33
[7] Ibid, h. 11
[8] John Ryan Bartholemew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat
Sasak, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 203
[9] Fath. Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram,
(Mataram: Yayasan Sumurmas Al-Hamidy, 1998), h. 10-11
[10]
Ibid.
[11] Keluar dari konflik, biasanya dipahami dalam konteks ketika
orang tua wanita menghalangi keinginan antara seorang laki-laki dan wanita yang
ingin melakukan perkawinan. Wawancara dengan Husni Muaz, dan Idrus Abdullah,
dosen Universitas Mataram Mataram, tanggal 17 Maret 2004. Hal senada juga
diungkapkan oleh beberapa nara sumber yang penulis wawancarai, seperti Lalu
Jalaludin Arzaki, dan Lalu Gde Superman. Lihat Muhammad Harfin Zuhdi, Parokilaitas
Adat Islam Wetu Telu Dalam Prosedur Perkawinan di Bayan Lombok, (Tesis,
Program Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2004)
[12]M. Nur Yasin, “Kontekstualisasi Doktrin Tradisional Di
Tengah Modernisasi Hukum Nasional: Studi tentang Kawin Lari (Merari’) di Pulau
Lombok”, Jurnal Istinbath No. I Vol. IV Desember 2006, h. 73-75.
[13]Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Ha Nihayah al-Muqtashid,
(Semarang: Usaha Keluarga, tt.), Jilid II, h. 2
[14]Gde Suparman, Dulangl, Perkawinan, (Mataram: Lembaga
Pembakuan dan PenyebaranAdat Sasak, 1995) dan bukunya, Titi Tata Adat
Perkawinan Sasak, Kepembayunan Lan Candrasengkala (Mataram: Lembaga Pembukuan
dan Penyebaran Adat Sasak Mataram Lombok, 1988).
[15]Ani Wafiroh,”Pemberdayaan Wanita Sasak”. Tengaji, Majalah
Berita dan Dakwah Edisi 12 Maret-9 April 2005
[16]Wawancara pada tanggal 14 September 2010; lihat juga
Muslihun Muslim dan Muhammad Taisir, Tradisi Merari’: Analisis Hukum Islam
dan Gender Terhadap Adat Perkawinan Sasak, (Yogyakarta: Kurnia Kalam
Semesta, 2009), h. 130-131
[17] Kondisi ini telah menempatkan kaum perempuan bangsawan
Sasak dalam posisi yang tidak menguntungkan, sehingga melahirkan pelbagai
bentuk ketidakadilan gender (gender inequalities) yang termanifestasi
antara lain dalam bentuk marginalisasi dan subordinasi. Bias gender dalam
stratifikasi perempuan bangsawan Sasak ini menyebabkan mereka memiliki akses
yang terbatas dalam menentukan jodohnya, sehingga banyak perempuan bangsawan
yang terlambat kawin, bahkan tidak kawin sama sekali karena aturan dan pranata
adat yang ketat dan rigit. Namun apabila ia nekat kawin dengan laki-laki dengan
strata yang lebih rendah, maka ia akan menerima konsekuensi sanksi adat
“dibuang” yang menempatkannya pada posisi marjinal dan subordinatif.. Lihat
Muhammad Harfin Zuhdi, Bias Gender Stratifikasi Perempuan Bangsawan Sasak
Dalam Perkawinan Masyarakat Lombok Nusa Tenggara Barat, (Penelitian
Individual Kompetitif Kementerian Agama RI, 2010)
[18] Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Tehadap Pola
Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, (Jakarta: Lemlit
UIN Jakarta, 2009), h. 19
No comments:
Post a Comment