Ibu, Sang Pemahat
Karakter Anak
By : Maria Ulfah,
S.Pd.I (Relawan SGI Angkatan 7)
Peran perempuan di era global ini
sangat beragam. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk turut berkontribusi dalam
membangun bangsa, salah satunya melalui pendidikan.
Ibu
adalah madrasah pertama, bagi anak-anak. Perannya dalam pendidikan mulai
berjalan sejak ia mengandung si buah hati. Anak-anak tumbuh dalam sebuah kelauarga dalam asuhan
ibu yang melahirkannya. Sejalan dengan tugas reproduksinya, ibu
mempunyai peran yang lebih signifikan dari pada ayah pada pendidikan usia dini
seorang anak. Tak
dapat dipungkiri, seorang anak akan lebih dekat pada ibunya bila dibandingkan
dengan ayah, karena pada
masa itu ibu memiliki kedekatan lebih intens dan mendalam dengan anaknya
ketimbang ayah.
Sejak tumbuh dalam
kandungan hingga usia 0-5 tahun sebagian besar anak banyak menghabiskan waktunya
didampingi ibu tercinta. Kita mengenal usia dini (0-5 tahun) adalah masa
keeemasan (golden age) seorang manusia
yang akan menentukan usia-usia selanjutnya. Tentunya ibu lah yang paling
berperan dalam mengisi masa paling cemerlang seorang anak yang pada akhirnya
menjadi penentu perkembangan anak di masa berikutnya. Apabila seorang anak
berada dalam asuhan seorang ibu yang baik dan mengerti bagaimana seharusnya ia
berperan menjadi sosok ibu sekaligus guru bagi anaknya maka ia akan tumbuh
menjadi anak yang cerdas dan berkarakter, namun sebaliknya apabila seorang anak
ditangani oleh seorang ibu yang tidak mengerti bagamaimana seharusnya ia
menjalankan fungsi dan peran sebagai ibu sekaligus guru bagi anak-anaknya maka
ia akan tumbuh menjadi anak yang “bermasalah”.
Ibu adalah The First Teacher for Child (Guru
pertama untuk anak). Sebagaimana
namanya, guru (digugu dan ditiru), maka ia senantiasa menjadi teladan. Figur
seorang ibu akan sangat menentukan karakter anaknya. Tak heran banyak anak-anak
yang tumbuh cerdas dan baik ahlaknya lahir dari perempuan-perempuan luar biasa.
Sebagaimana Hasan dan Husein cucu baginda Rasulullah, tumbuh sebagai pemuda
pemberani yang cerdas dan tangguh lewat didikan seorang ibu yang luar biasa
yakni Fatimah r.a. binti Muhammad SAW. Begitu pula dengan Bung Karno sebagai founding father republik ini ia juga
lahir dari rahim seorang ibu yang luar biasa. Oleh karenanya tak berlebihan
jika ada pepatah yang mengatakan “ Dibalik bangsa yang besar, ada wanita hebat
di belakangnya”. Hal ini dikarenakan peranan perempuan yang begitu besar dalam
menyiapkan generasi penerus bangsa selanjutnya. Di tangan para ibulah
pendidikan usia dini anak diamanahkan. Meski dewasa ini lembaga pendidikan
formal untuk anak usia dini seperti play group dan PAUD semakin menjamur, namun
hal itu belum bisa dibandingkan dengan besarnya pengaruh pendidikan dalam
keluarga, dimana ibu berperan sebagai tokoh utamanya.
Dewasa ini, bangsa yang
tumbuh berkembang dengan pesat pendidikan karakternya adalah Jepang. Mengapa
Jepang bisa menjadi negara maju seperti hari ini dengan generasi penerusnya
yang kuat dan handal serta berkarakter? Ibu. Ya, jawabannya Ibu. Di Jepang ada
julukan “kyoiku mama” atau dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan “ibu
pendidikan”. Kyoui mama adalah para ibu yang siap siaga menjalankan fungsi dan
perannya sebagai ibu sekaligus guru pada anak-anaknya. Jangan heran, mereka
bukan orang yang tak lulus sekolah, rata-rata dari mereka adalah para perempuan
lulusan S1, S2 yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga sehingga ia bisa
mendidik anaknya sebaik mungkin dengan tangannya sendiri. Begitu pula dengan
pemerintahannya, pemerintah Jepang memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya
pada para ibu yang bersedia meninggalkan karier nya demi menjadi ibu yang baik bagi putra
putrinya. Lewat tangan ibu-ibu hebat itulah kini kita melihat Jepang tumbuh
sebagai bangsa yang besar dan terhormat.
Fenomena di atas bukan
berarti kita (ibu) harus meninggalkan karier dan kembali menjadi ibu rumah
tangga saja. Tapi ini sebagai bentuk refleksi kita untuk melihat bagaimana
pentingnya peran ibu dalam membentuk karakter anak-anak bangsa kemudian
menghasilkan sebuah kesadaran bagaiamana seharusnya kita bertindak. Bila kita berbicara tentang
permasalahan pendidikan karakter pada anak bangsa, maka mari kita menilik pada
pendidikan in-formalnya terlebih dahulu. Saya khawatir jangan-jangan akar
permasalahan dari karakter ini bukan hanya pada guru-guru di sekolah yang kini
kian menjadi sorotan, tapi justru ada pada keluarga. Saya ingin mengajak para
pembaca mulai kembali melihat keluarga-keluarga kita terutama ibu. Sudahkah keluarga
sebagai lembaga pendidikan in-formal pertama yang diterima oleh anak dapat menjalankan
peran dan fungsinya dengan baik? Apabila belum, maka mari kita bersama segera
memperbaiki apa yang seharusnya diperbaiki, sehingga dikemudian hari kita dapat
menyaksikan anak-anak kita tumbuh hebat dan berkarakter. Amin.