Awardee LPDP. Will you be the next???
Hai scholarship hunters.... kalian pasti sudah tahu apa itu Beasiswa LPDP. Beasiswa paling bergengsi di bumi Indonesia kita tercinta yang terkenal dengan ke profesionalan, integritasnya, berisi orang-orang kece dan kelancaran pencairan dananya..hehe. Kali ini aku akan membagikan pengalaman suka dan duka meraih beasiswa ini.
LPDP banyak peminatnya tapi sedikit yang berhasil? Ya. LPDP memilih orang-orang yang berjiwa pemimpin? Ya. LPDP hanya menerima orang-orang pintar yang memiliki skor TOEFL atau IELTS yang tinggi? Gak juga.. Buat kalian yang takut mendaftar LPDP karena kemampuan bahasa Inggris yang masih "tiarap" jangan khawatir, karena LPDP itu baik banget. LPDP memberikan kesempatan pada anak bangsa yang tinggal di daerah 3T, mantan alumni bidikmisi, anak miskin berprestasi, atau anak bangsa yang memiliki prestasi dan mengharumkan nama Indonesia di tingkat nasional dan internasional. Namanya beasiswa Afirmasi. Kalian boleh cek di web LPDP. Beasiswa afirmasi ini memungkinkan orang-orang seperti kita (termasuk saya) yang ingin mengikuti beasiswa ini namun tidak memiliki skor TOEFL atau IELTS yang mencukupi. Lewat jalur afirmasi ini, LPDP memperbolehkan kita mendaftar hanya dengan skor TOEFL ITP 400. Sungguh baik hati bukan?
Ok... Inilah ceritaku saat mengikuti beasiswa LPDP
“Kemanapun
engkau menghadap, di sanalah wajah Allah. Milik-Nyalah segala yang terbentang dari
timur ke barat. Wahai manusia, atas segala hajatmu kembalilah pada-Nya”.
Inilah
yang menjadi sumber kekuatanku mendaftar beasiswa LPDP. Aku bukanlah seorang
yang hebat, berpengalaman luas apalagi memiliki kecakapan bahasa asing yang
bagus. Saat mendaftar LPDP aku menggunakan sertifikat TOEFL ITP dengan skor hanya 463. Sederet angka
yang bisa saja ditertawakan saat tahu bahwa akupun mendaftar untuk tujuan luar negeri
terlebih untuk University of Melbourne, Australia yang mensyaratkan skor IELTS
7.0 untuk fakultas pendidikannya. It’s OK. Mari bayar mimpi itu dengan do’a
disertai perjuangan yang tak kenal menyerah. Yakinlah, tak ada hasil yang
menipu usaha,
Oh
ya, aku baru lulus seleksi wawancara setelah percobaan keduaku. Sebelumnya aku mendaftar
di University College London, UK. Namun Tuhan belum berkehendak. Aku gagal dalam
percobaan pertama itu. Masih jelas dalam ingatanku saat itu
aku menerima email pada 10 Juni 2016 pukul 20.00. “Pengumuman Ketidak lulusanSeleksi…..”
begitulah kira-kira judul email LPDP yang masuk di inboxku. FYI, bagi
orang-orang yang sangat mengaharapkan LPDP, judul email semacam ini secara otomatis
membuat jantung serasa berhenti berdetak. Serius, ini tak berlebihan. Dunia tetiba
menjadi suram saat aku membaca lebih dalam email tersebut. Bagaimana tidak, aku
begitu berharap bisa segera menjadi awardee, aku bahkan menolak beberapa panggilan
kerja dengan sallary yang cukup menjanjikan
hanya karena tidak ingin resign dari pekerjaan
jika di tengah perjalanan LPDP menyatakan menerima pinanganku. Tentu kalian
tahu bagaimana hancurnya hatiku. Satu malam penuh aku tak berhenti menangis.
Apa yang salah? Apa yang kurang? Aku mereka ulang ingatanku saat hari wawancara.
Aku menyadari aku begitu lemah pada bagian rencana studi. Konon katanya,
kejelasan rencana studi adalah kunci utama lulus LPDP.
Satu
malam penuh meluapkan segala kekecewaan. Pagi-pagi kubuka akun line ku. Sudah ratusan
chat dari grup line “LPDP Seleksi Subtansi Jogja” menunggu untuk dibaca. Aku
membaca dengan seksama. Ya Tuhan, aku tak sendiri. Ada banyak yang senasib denganku.
Satu hal yang menarik, anak-anak hebat ini tak menangisi kegagalannya berlebihan,
sibuk menyalahkan diri sendiri ataupun keadaan, yang mereka sampaikan dalam
chatnya adalah refleksi-refleksi dan spirit untuk mempersiapkan diri lebih baik
lagi. Tetiba menjadi malu, apa yang sudah kulakukan untuk menguatkan diriku sendiri.
Pagi itu aku kembali menemukan semangatku. Hari itu aku bertekad akan mendaftar
kembali. Ku cek kembali dokumen-dokumenku. Melakukan riset ulang tentang universitas
tujuan dan jurusan yang dipilih. Hitungan H+3 setelah pengumuman ketidaklulusan
aku telah mensubmit pendaftaran kembali. Sungguh bukan karena terburu-buru, hanya
saja dokumen-dokumenku hampir habis masa berlakunya. Saat itu aku sedang pengangguran,
bukan hal yang menyenangkan jika harus menghabiskan uang ratusan ribu untuk tes
kesehatan kembali. Saat mendaftar kembali aku cukup ragu, apakah akan memilih
LN lagi, atau memilih DN saja. Saat itu, setiap orang yang ku ajak diskusi
menyarankanku untuk memilih DN saja, karena kemungkinan lulusnya lebih besar,
Tentu saja jiwa optimisku berontak, Aku tak pernah mentoleransi diriku menyerah
terhadap sesuatu hanya karena ia terlihat sulit untuk di taklukkan. Aku teringat pesan Mas Budi Waluyo bahwa tidak ada jaminan
keberhasilan yang pasti saat kita memperjuangkan sesuatu, namun segala
kekhawatiran akan gagal jangan menjadi kebiasaan bagi kita
untuk tak berjuang. Aku mantap memilih LN dengan segala konsekuensinya.
Tibalah
saat pengumuman administrasi, aku “LULUS”. Kali ini aku tak boleh menyia-nyiakan
kesempatan. Kalau aku gagal lagi, maka itu artinya kesempatan menjadi awardee
LPDP tertutup sudah. Persiapan-persiapan
mulai kulakuan. Aku mulai berlatih LGD,
EOTS dan Wawancara bersama teman-teman lainnya yang lolos seleksi administrasi.
Salah satu keuntungan latihan bersama adalah kita bisa
memotivasi diri agar berusaha lebih keras lagi sebagaimana yang teman-teman
lain lakukan. Seringkali aku merasa telah berusaha dengan maksimal. Aku
mengukur usahaku dengan ukuran diriku sendiri. Padahal mungkin saja semua orang
sedang berjalan menuju mimpi yang sama, yakni awardee LPDP. Saat aku berjalan,
mereka bisa saja berlari, saat aku berlari mereka bisa saja berlari lebih
cepat, satu hal yang pasti bahwa yang bergerak tentu saja akan mengalahkan yang
berdiam diri.
Hari
H seleksi pun tiba. Hari pertama aku mendapat jadwal seleksi Essay dan LGD.
Seleksi yang paling menegangkan bagiku adalah LGD. Bagi yang memilih tujuan
studi LN, diwajibkan LGD dalam bahasa Inggris. Terbayangkan bagaimana kemampuan
speaking skor 463? Benar-benar speaking Inggris ala Indonesia, translate perkata. Bahkan aku tak tahu
apa bahasa Inggrisnya “macet”. OMG, cukup memalukan, but, take it’s easy. Dunia belum kiamat hanya karena kamu lupa vocab saat LGD. Di group LGD ku hanya aku yang afirmasi, yang
lain sudah bersertifikat IELTS 7 dan memiliki LoA. Saat-saat seperti inilah
mental mu diuji. Saat kita merasa inferior
dibanding orang-orang disekitar. Kalau kita terus berfikir bahwa kita ada
di bawah mereka, maka siapapun dapat membaca rasa rendah diri itu lewat suara
dan gesture kita, dan itu fatal. LPDP
tidak mencari pemuda impoten dalam hal kepercayaan diri. Tetaplah fokus pada
nilai plus dirimu.
Untuk
persiapan wawancara aku telah menyiapkan diri dengan berbagai list pertanyaan
serta jawabannya dalam bahasa Inggris. Aku juga membuat alat peraga untuk
menjelaskan rencana hidupku di masa depan. Begini modelnya.... benar benar alakadarnya.
Tak lupa memprint kurikulum pendidikan di UPI, UNJ dan UNY, jaga-jaga saja jika disuruh pindah dr LN ke DN, aku sudah punya jurus ampuh menolaknya.hehe. Tak lupa meminta doa Ibunda tercinta, karena aku meyakini bahwa do’a Ibu tak berhijab dengan Tuhan.
Tak lupa memprint kurikulum pendidikan di UPI, UNJ dan UNY, jaga-jaga saja jika disuruh pindah dr LN ke DN, aku sudah punya jurus ampuh menolaknya.hehe. Tak lupa meminta doa Ibunda tercinta, karena aku meyakini bahwa do’a Ibu tak berhijab dengan Tuhan.
Hari
itu, aku memasuki ruangan wawancara sambil mendo’a ke langit. “Tuhan ijinkan
aku melalui ini dengan baik”. Wawancara mengalir begitu saja meski bahasa
Inggrisku sangat terbatas. Persiapanku membuat alat peraga tak sia-sia. Saat
aku menunjukkannya, mereka terlihat sangat antusias, bahkan salah satu
pewawancara mengeluarkan HP nya untuk mengabadikan diriku yang sedang
mempresentasikan rencana masa depanku dengan alat peraga tersebut. Mereka
menggali lebih dalam tentang perjalanan hidup, prestasi dan aktivitas sosialku.
Bahkan salah satu dari pewawancara sampai mengorek-ngorek facebook dan blogku. Namun
semuanya terlewati dengan baik. Kini tinggal do’a. Saat ikhtiar telah maksimal
maka do’alah yang menjadi penyempurnanya. Do’a menyodok langit di tiap malamnya
dengan setulus-tulus permohonan
Finally,
“Pengumuman Kelulusan…..” itulah email yang ku terima setelah menunggu satu
bulan lamanya. Segala puji bagi Allah. Perjuangan ini terasa amat manis setelah
melewati kerasnya perjuangan dan pahitnya kegagalan. Tuhan terimakasih telah
menjaga semangat juang ini tetap membara. Perjalanan ke depan masih panjang. Tugasku
selanjutnya adalah memastikan bangsa Indonesia tak keliru menitipkan pundi
rupiahnya padaku. Semoga ilmu yang didapat selama studi menjadi jalan bagiku
untuk ikut turun tangan membangun Indonesia tercinta. Aamiin.