Tuesday, 19 May 2015

Kisah Inspiratif : Gerakan Kendari Mengajar, Anak Muda Berbagi Pelita



Gerakan Kendari Mengajar, Anak Muda Berbagi Pelita
Oleh : Maria Ulfah, S.Pd.I
(Guru SGI Angkatan 7)
“Pemuda adalah penerus harapan bangsa”. Kalimat ini kian akrab dalam kehidupan kita sehari-hari. Tak ada yang menampikkan, bahwa generasi muda memiliki pengaruh besar dalam menentukan kehidupan bangsa di masa selanjutnya. Di tangan para pemudalah narasi masa depan bangsa ini dipertaruhkan. Namun apa yang terjadi jika generasi muda yang jadi tampuk harapan tak mampu melakukan titah bangsanya dengan baik?
Kehidupan dewasa ini terus dihadapkan dengan globalisasi yang sudah barang tentu memiliki pengaruh negatif yang tak pandang bulu. Pengaruh ini tanpa disadari telah melunturkan semangat juang, rasa peduli (respect) pada pemuda bangsa.
Secara umum, boyband dan girl band adalah citra anak muda masa  kini. Ada banyak anak muda yang memilih untuk terus hidup pada zona “nyaman” terus bergumul dengan hedonisme hingga tak punya inisiatif dan semangat juang. Tak heran sering kali kita mendengar cibiran dari pendahulu kita bahwa anak muda zaman kini tak lagi kritis, tak respect pada suara rakyat di lapangan layaknya pemuda zaman dulu, dimana mahasiswa menjadi aktor utama yang siap berkorban demi kepentingan kaum lemah. Di media masa juga menjamur tulisan-tulisan yang menggaungkan bahwa kini anak muda telah “impoten”. Impoten dalam sikap berfikir kritisnya hingga impoten mengenai rasa peduli (respect) pada sekitarnya.
Namun dibalik “impotennya” generasi muda masa kini, kita masih bisa temukan sekelompok anak muda yang memiliki gelombang optimisme dan respect luar biasa. Ada relawan-relawan muda yang bekerja dengan sepenuh hati bukan karena rupiah. Mereka bekerja dengan ketulusan, kesungguhan dan menawarkan terobosan-terobosan. Mereka adalah anak-anak muda hebat yang tergabung dalam sebuah gerakan yang bernama “Gerakan Kendari Mengajar (GKM)”.
GKM, begitu kelompok ini biasa dipanggil. GKM, sebagaimana namanya, ia berada di kota Kendari tepatnya di Universitas Haluoleo. GKM hadir sebagai bentuk aksi kritis generasi muda meilhat masalah yang terjadi di sekitar lingkugannya. Para founding father menyadari bahwa, turun ke jalan-jalan (demo-red) bukanlah jalan utama untuk merubah sebuah keadaan, namun yang terpenting adalah “aksi nyata” yang bisa dilakukan demi sebuah perubahan.
Kini, GKM memiliki sejumlah volunter dari berbagai kalangan anak muda. Namun rata-rata dari mereka adalah para mahasiswa. Mereka disatukan oleh visi yang sama “Mendidik, Mengajar dan Menginspirasi”. Menjadi guru dan membuat terobosan-terobosan kegiatan sosial pendidikan menjadi agenda utama dari GKM. GKM merangkul banyak khalayak untuk ikut berpartisipasi, bahu-membahu, turun tangan bersama dalam menyelesaikan sekelumit persoalan pendidikan Indonesia.
Para volunteer GKM ditugaskan untuk mengajar beberapa daerah terpencil di sekitar kendari. Salah satu daerah yang dituju adalah desa Nanga-nanga Kecamatan Baruga Kota Kendari. Nanga-nanga adalah sebuah desa terpencil yang tak tersentuh pembangunan besa-besaran kota Kendari yang kita saksikan belakangan ini. Jalan yang rusak parah, tak ada sinyal hingga keadaan sekolah yang masih jauh dari harapan menjadi beberapa alasan bagi GKM memilih Nanga-nanga sebagai salah satu lokasi pengabdian para volunteernya.
Selain mengajar di beberapa sekolah, GKM juga membuat sebuah kegiatan terobosan yang layak diacungi jempol. Mulai dari penggalangan 1000 Buku untuk didistribusikan ke sekolah-sekolah yang membutuhkan, hingga kegiatan Gerakan 1000 Buku Tulis yang diselenggarakan baru-baru ini. Tidak bekerja sendiri, mereka juga menggandeng Garuda Indonesia sebagai partnernya dalam kegiatan BSBT ini. Kegiatn ini melibatkan banyak pihak yang memberikan donasi dari berbagai kalangan mulai dari masyarakat Sulawesi Tenggara hingga belahan pulau Jawa.
Sebagai generasi muda, kami turut berbangga, bahwa dalam kondisi Indonesia era kini masih dapat kita temukan sekelompok anak muda yang respect dengan keadaan, tidak hanya pandai mengkritik keadaan tapi mampu melakukan aksi nyata untuk sebuah perubahan. Mereka memiliki sebuah keyakinan bahwa pelita kecil yang mereka nyalakan lebih baik dari sekedar mengutuk kegelapan.

Sunday, 3 May 2015

Opini (Refleksi Hardiknas 2015, Pendidikan Indonesia Masih Harus Terus Berbenah)



Refleksi Hardiknas 2015, Pendidikan Indonesia Masih Harus Terus Berbenah
Oleh : Maria Ulfah, Guru SGI angkatan 7

Tanggal 2 Mei adalah hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Setiap tahun bangsa Indonesia menyambut penuh suka cita peringatan Hari Pendidikan Nasional ini. Hardiknas dimaknai sebagai momentum untuk refleksi bagi kita bangsa Indonesia mengenai perkembangan pendidikan sejak era sebelum kemerdekaan hingga kini.
Pemerintah telah melakukan upaya yang luar biasa untuk melunasi janji kemerdekaan yang satu ini (mencerdaskan kehidupan bangsa-red). Anggaran yang digelontorkanpun tak kalah besarnya. 20% dari APBN adalah bukti serius bangsa ini untuk menepati janjinya dalam hal pendidikan.
Sejalan dengan itu pula, santer kita dengar ketimpangan pendidikan terjadi dimana-mana. Biasanya pada peringatan Hardiknas ini, media gencar menampilkan potrt pendidikan Indonesia. Berbagai masalah dihadapkan pada bangsa Indonesia mulai dari, sekolah bocor, sekolah hampir roboh, mahalnya harga pendidikan hingga angka putus sekolah. Berbicara tentang permasalahan pendidikan di Indonesia, maka kita akan menemukan sedaftar list masalah yang seakan tak ada habisnya untuk diselesaikan. Mulai dari penggunaan dana pendidikan hingga kualitas pendidikannya.
Angka dana pendidikan yang besarbelum bisa menjadi jaminan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mengakses pendidikan dengan layak. Pada tahun 2013 total anggaran untuk pendidikan mencapai Rp 345,335 triliun. Angka yang sangat besar itu hingga kini belum sepenuhnya bisa dirasakan oleh anak-anak yang tinggal di daerah 3T Indonesia. Jangankan berinteraksi dengan alat laboratorium dan alat peraga canggih lainnya, untuk ruang kelaspun mereka harus rela berbagi. Sebagian kelas harus berbagi dengan kelas yang lain. Bukan hanya di film-film kita dapat melihat ruang kelas yang disekat dengan triplek-triplek bolong, dalam dunia nyata keadaan miris seperti itu masih sering kita temui.
Berbicara kualitas pendidikan, pendidikan Indonesia juga masih menempati posisi yang jauh dibawah negara-negara tetangga lainnya. Pendidikan Indonesia pada tahun 2013 menduduki peringkat ke- 64 dari 120 negara. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia harus bekerja keras untuk menyetarakan kualitas pendidikannya sebagaimana negara tetangga lainnya, Singapore misalnya yang menempati rangking ke-25.
Lalu, siapakah yang bertanggung jawab untuk membenahi segala kekurangan pendidikan di bumi Pertiwi yang kita cintai ini? Pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama. Maka seluruh bangsa Indonesia harus ikut ambil bagian tanggungjawab untuk menyelesaikannya. Kita tak boleh menutup mata atas apa yang menimpa pendidikan kita. Untuk mencapai pendidikan yang baik dan berkualitas, maka seluruh lini harus ikut mabil bagian. Kerjasama, gotong royong, bahu-membahu dalam satu misi mencerdaskan kehidupan bangsa akan menjadi sebuah kekuatan hebat yang mendorong pencapaian kualitas pendidikan Indonesia kita. Maka bukan tidak mungkin, target “Generasi Emas Indonesia” pada tahun 2045 bisa dicapai dengan maksimal.
Peringatan Hardiknas tahun ini hendaknya kita jadikan momentum bersama untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab kita yang berwujud sebuah peran nyata untuk memperbaiki pendidikan. Dalam hal ini, ada 3 komponen yang harus saling bersinergi untuk pencapaian kualitas pendidikan Indonesia yang lebih baik.
Pertama, Pemerintah. Secara konstituional, negara bertanggung jawab penuh dalam menyelenggarakan pendidikan. Oleh karenanya, Anggaran 20% APBN adalah sebuah langkah hebat yang harus dipertahankan. Namun perlu diingat, bahwa dana besar saja tidak cukup menjadi jaminan pendidikan kita bisa lebih baik. Banyak hal-hal yang harus terus diperhatikan. Monitoring dan evaluasi dari seluruh pemegang tampuk amanah pendidikan harus gencar dilakukan. Sehingga problem-problem di lapanagan cepat terdeksi dan jalan keluarnya bisa segera dieksekusi. Sehingga tidak membuat rakyat berlarit-larut menunggu penyelesaian masalah yang menimpa mereka.
Kedua, Sekolah. Sebagai lembaga formal pendidikan, sekolah haruslah mampu menjalankan tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Sejalan dengan anjuran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, hendaklah sekolah kembali pada filosofi “Taman Siswa” yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara, dimana sekolah adalah sebuah tempat belajar yang menyenangkan dan dirindukan anak-anak. Guru adalah tokoh utama yang memainkan peranan penting di sebuah sekolah. Sudah semestinya, guru harus terus meningkatkan kualitas diri untuk menjadi fasilitator yang mengantarkan peserta didik mencapai tujuan pembelajaran.
Ketiga, Orang Tua dan Masyarakat. Peran serta orang tua dan masyarakat sangat penting dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua dan masyarakat sebagai kontrol sosial harus mampu memainkan perannya dengan baik. Di tengah era global yang kian gencarnya, membuat kemajuan teknologi memiliki dampak buruk bagi generasi bangsa. Kini media massa dan elektronik berlomba-lomba menjajakan tontonan yang bisa merusak moral anak-anak kita. Di sinilah peran orang tu dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk memastikan anak-anak kita tumbuh dengan baik dan bebas dari pengaruh-pengaruh negatif yang merusak masa depannya.