Penguatan Riset pada Perguruan
Tinggi, Menuju Indonesia Berdaya
(Oleh Maria Ulfah, S.Pd.I, Guru
SGI-Dompet Dhuafa Angkatan 7)
Telah lama disadari bahwa
kemajuan iptek dan riset memiliki peranan penting dalam kemajuan dan
kesejahteraan sebuah negara. Dewasa ini Indonesia dilanda krisis luar biasa.
Angka kemiskinan terus melompat tak terbendung. Ekonomi melemah, tak kunjung
akhir. Indonesia dengan sumber daya alam yang melimpah ruah seharusnya mampu
menjadi bangsa besar. Namun sumber daya manusia yang terbatas belum mampu
mengantar rakyatnya menjadi lebih baik kesejahteraannya. Lemahnya riset menjadi
salah satu faktor utama mengapa Indonesia masih berada di rangking bawah
tingkat kesejahteraannya.
Pengembangan riset memegang
sebuah peranan penting bagi sebuah negara untuk mencapai tangga kesejahteraan.
Namun sayang, Indonesia masih amat rendah pengembangan risetnya. Ancaman gagal panen yang memporak-porandakan
ketahanan pangan Indonesia menjadi bukti nyata bahwa Indonesia masih sangat
lemah dalam riset , khususnya tentang
riset Sains Perubahan Iklim. Diantara kerugian negara yang lain akibat lemahnya
riset adalah peristiwa 1000 ha tanah
gambut yang dijadikan lahan pertanian, padahal setelah diteliti ternyata
tanah gambut itu tidak cocok untuk pertanian. Alhasil negara mengalami kerugian
yang besar.
Rendahnya riset Indonesia juga
dapat kita lihat pada rendahnya nilai riset pada barang-barang/produk Indonesia
yang di eksport keluar negeri. Indonesia
masih lebih sering menjual barang atau bahan mentah ke luar negeri, ketimbang
menjualnya dalam bentuk sebuah produk yang bernilai tinggi. Bahan mentah itu
jelas masih amat sangat murah harganya, hal ini tentu kurang menguntungkan bagi
ekonomi Indonesia. Seandainya riset Indonesia sudah semaju negara-negara Barat,
dengan SDA yang berlimpah tentu Indonesia bisa menjadi penghasil produk
berkualitas yang punya nilai jual tinggi di pasar global yang tentunya akan
memberi dampak baik bagi perekonomian Indonesia dan kesejahteraan penduduknya.
Di Indonesia, riset belum menjadi
sebuah budaya. Di tingkat universitas yang nota benenya akademis dan ilmiah
belum mampu menghasilkan budaya riset. Hal ini bisa kita lihat pada minimnya
jumlah peneliti dan minimnya jumlah karya yang dipublikasi dalam jurnal
international. Memang ada beberapa penilitian Indoensia yang mendapat
penghargaan hingga kancah Internasional, namun hal ini belum berbanding lurus
dengan banyaknya perguruan-perguruan tinggi di Indonesia serta jumlah
penduduknya yang mencapai ratusan juta jiwa. Per Juni 2015, Indonesia hanya
memiliki 15 riser berpaten internasional. Angka ini tentu jauh tertinggal bila
dibandingkan dengan Tiongkok 314.000 paten internasional, Amerika 216.000, Jepang 32. 156, Singapura 637,
bahkan dengan negara tetangga yang dulu belajar pada Indonesia yakni Malaysia
dengan ujumlah riset berpaten internasionalnya mencapai 302 paten.
Tiap tahuannya ada ribuan
mahasiswa yang masuk perguruan tinggi, dan tiap tahun pula ada ribuan orang
dengan predikat sarjana lulus dari sebuah perguruan tinggi namun tak punya
kecakapan yang memadai. Kurangnya basic riset pada pendidikan Indonesia pada
akhirnya hanya mampu menghasilkan generasi-generasi ilmuan yang mandul dalam
mengatasi permasalahan global yang kini tengah melanda Indonesia.
Hal ini semakin diperparah dengan
minimnya dana riset yang diberikan pemerintah dari APBN Negara. Alokasi dana
riset Indonesia hanya 0,8% dari APBN.
Jumlah angka yang jauh lebih keccil dibanding negara-negara lainnya yang
menggelontorkan APBN mereka sebanyak 3,00 hingga 4,00 %. Menurut survey, negara
yang paling banyak mengalokasikan uang negaranya untuk pengembangan riset
diduduki oleh Amerika, China dan Jepang. Sedangkan Indonesia berada pada posisi
48 dari 72 negara yang disurvey. Maka tak heran bila yang mendominasi riset dan
publikasi international adalah negara-negara yang besar anggaran risetnya. Hal
ini menunjukkan dukungan dan apresiasi dari pemerintah terhadap para peneliti
di indonesia dianggap kurang memadai untuk mendorong para peneliti menghasilkan
riset-riset handal yang bermanfaat untuk negara.
Lemahnya riset juga menjadi
faktor yang menjadikan Indonesia tertinggal dengan negara-negara barat yang
getol dengan ilmu sain dan risetnya. Indonesia hanya menjadi penonton dalam
panggung global. Daya saing Indonesia di kancah global akan semakin melorot
apabila pengembangan sains, tekonologi dan riset tak menjadi perhatian.
Pendidikan Tinggi Indonesia sebagai
ujung tombak kemajuan riset Indonesia tentu harus meningkatkan kompetensi
risetnya. Penguatan riset pada pendidikan Indonesia mutlak menjadi sebuah
keharusan karena kontribusinya dalam mengatasi permasalahan pelik yang melanda
Indonesia.Oleh karenanya perlu digalakkan kembali, pendidikan yang kuat dengan
riset, karena riset dianggap mampu
mencari berbagai alternatif pemecahan masalah yang ada ditengah-tengah
masyarakat dan lingkungan sekitar.
Kementrian Riset dan Tekhnologi
sebagai lembaga yang paling bertanggungjawab akan hal ini,hendaknya mengambil
langkah kongkrit agar perkembangan riset Indonesia tak jalan ditempat dengan
membuat sebuah terobosan yang mampu membangkitan semangat riset di Indonesia.
Tak kalah penting, Kemristek juga harus dapat memastikan perguruan-perguruan
tinggi di Indonesia mampu
menyelenggarakan dan memfasilitasi pendidikan yang kuat riset. Jika
riset Indonesia kuat dan maju, maka secara otomatis tingat kesejahteraan bangsa
ini juga akan terus membaik dan menjadi negara kuat dan bermartabat dalam
kancah global.
No comments:
Post a Comment